Chapter 13

8 1 0
                                    

***

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."

(QS. Al-Furqan 25: Ayat 20)

Baihaqi berjalan tergesa menuju Ndalem. Setelah menyelesaikan pekerjaan masalah kantornya Ia ingin bertemu Abah karena saat ini hatinya begitu gundah sebab sejak kemarin tidak berhenti memikirkan Nurin. Mereka tidak sempat bertukar nomor ponsel, satu-satunya peninggalan Nurin sebelum pergi hanya secarik kertas yang meyakinkan Baihaqi jika Nurin juga sudah mencintainya dan tidak akan berupaya membunuh dirinya lagi. Namun bagaimana dengannya? Bahkan Baihaqi belum sempat meyakinkan Nurin mengenai cintanya yang murni supaya wanita itu tetap menjaga dirinya dimanapun ia berada sampai dialah nanti yang akan menjaga wanita itu.

Selama di pondok pun Baihaqi menjaga dirinya sekali dari yang namanya wanita. Godaannya disana juga lumayan, wanita-wanita terutama ustadzah-nya muda-muda dan semua Masya Allah sangat cantik. Akhlak nya juga Insya Allah tidak kalah cantik. Terkadang hal itu menggetarkan hatinya sebagai mantan buaya. Namun Baihaqi berupaya memegang teguh alasannya datang kemari, yaitu ia ingin bisa membimbing istrinya kelak dimana ia berharap itu adalah seorang Nurun Al-Nurin, wanita yang membuatnya bucin setengah sinting. Berpisah dengannya seperti ini saja sudah membuat laki-laki itu musti banyak pikiran. Tak ada jeda dimana Baihaqi berhenti menyebutkan nama itu dalam doanya seperti bimbingan Kyai Hasan.

Dulu, sewaktu mondok disini Baihaqi memang sangat badung. Namun akhlaknya bagus, hafalannya sebenarnya juga bagus dan semua nilai keagamaannya bagus. Namun orang-orang cenderung menilai Baihaqi anak badung yang pasti tidak tau apa-apa, mereka sibuk membandingkan Baihaqi dengan Adiknya yang sudah khatam Al-Qur'an. Jelas mereka jauh kagum terhadap Zahira. Kendati begitu Baihaqi tidak sekali-kali pun marah.

Dan keputusannya untuk mondok tak lain tak bukan supaya ia mendapat lingkungan yang tenang, dimana ia bisa mendalami apa yang dulu sudah ia dapatkan dan mengingat apa yang telah luput darinya. Baihaqi santri tidak resmi, terserah dia mau ngapain Abah tidak akan repot-repot menegurnya seperti dulu. Bahkan saat pria itu tertidur di Masjid berselimut sarung hijau kotak-kotak, ngopi bersama Pak Danang sampai ikut keliling patroli, Abah tidak marah sama sekali selama hal itu tidak mengganggu dan merugikan. Bisa dibilang mondok hanya sebuah kedok. Kedoknya mondok tapi rasa liburan. Hitung-hitung mengurangi jiwa bapak-bapak Baihaqi yang belum waktunya lah, soalnya setiap ada di perusahaan pasti terkena doktrin jokes bapak-bapak dari karyawannya. Baihaqi sudah 24 tahun, bukan remaja lagi. Apalagi sudah menjadi CEO yang kerjaannya menghandle banyak hal tentang perusahaan dan banyak karyawan.

"Assalamualikum,Haq." Abah lebih dulu mengucapkan salam. Padahal ibarat kata beliau adalah pemilik rumah yang sedang akan menerima tamu.

"Waalaikumsalam,Abah! Kok malah Abah dulu yang salam?" protes Baihaqi. Ia pernah mendengar kisah Umar bin Khottob dengan Abu Bakar mengenai salam, suatu hari Abu Bakar mendatangi Rosulullah Muhammad SAW, mengeluhkan sesuatu yang mengganjal hatinya mengenai sahabatnya—Ummar Bin Khottob yang enggan mengucapkan salam terlebih dulu. Abu Bakar takut apabila beliau membuat kesalahan sehingga Ummar tidak mau mengucapkan salam kepadanya dan harus dia terlebih dulu yang mengucapkan. Mendengar hal itu, sebab Nabi tidak mau kesalahpaham ini semakin berlarut maka beliau mempertemukan keduanya berniat untuk membicarakan hal tersebut. Dan sungguh Abu Bakar tersentuh dengan penjelasan sahabatnya yang mengatakan bahwasanya pahala orang yang mengucapkan salam lebih dulu itu amat banyak sehingga beliau ingin Abu Bakar yang mendapatkan pahala tersebut.

My Sontoloyo Imam [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang