Chapter 28

1 1 0
                                    

Kegaduhan terjadi diwaktu para santri hendak melaksanakan sholat dhuha berjamaah di masjid. Segerombolan laki-laki berpakaian preman menerobos pagar dan melukai Pak Danang sekalu satpam penjaga . Jumlah mereka cukup untuk bertanding sepak bola dengan postur tubuh tegas dan membawa sejumlah senjata untuk mengancam siapapun yang hendak menghalangi mereka mengambil paksa Naresha.

Mendengarnya Nurin kian menangis didalam dekapan Baihaqi yang tak henti mengucap taraju' dan istigfar.

"Ini pasti ulah Gilang!" Ucap Nurin geram.

"Sebenarnya ada hubungan apa Naresha dengan Gilang? Bukankah dia hanya penculik yang membawa kabur Naresha sejak berusia 5 tahun? Apa yang sebenarnya ia inginkan dari kita?"

"Kita akan mengetahuinya jika kita memenuhi undangannya ini," Zenoka yang merupakan kakak tiri Baihaqi menyodorkan secarik kertas yang ia dapat dari santri. Santri itu memungutnya setelah sekelompok itu pergi membawa Naresha.

"Bukankah lebih baik kita lapor saja pada polisi?" Baihaqi yang membuka dan membacanya, oleh sebab itu pikirannya langsung tertuju pada pihak berwajib yang dinilai mampu menyelesaikan permasalahan ini.

"Gilang itu licik. Seharusnya dia belum keluar dari penjara, tapi dia memang punya kuasa dari bisnis narkoba dan perdagangan senjata ilegal yang bernaung dibawah kekuasaannya. Kurang licik apa dia sampai menggunakan anak kecil sebagai senjata? Kita dalam pilihan yang sulit." Sela Nurin merasa itu bukan jalan keluarnya.

"Saya tidak akan mengijinkan kamu untuk datang,Rin." Itu larangan Baihaqi. Sebab tertulis dalam secarik kertas itu bahwa pelaku ingin Nurin yang datang.

"Dia keponakan saya,Haqi. Peninggalan dari kakak saya yang telah dibunuh oleh orang itu. Saya sakit hati sekali dengan apa yang terjadi, dihadapan kita saat ini ada sebuah masalah besar dan kita harus mencoba mencari jalan keluarnya bukan? Naresha masih belia, saya tidak mau dia dihancurkan begitu saja oleh semesta ini. Mungkin ini salah Sakha karna telah membawanya ke dunia ini lalu kemudian justru harus ia tinggalkan sendirian. Tapi saya berjanji akan memberikan sedikit ruang agar dia merasakan masa remajanya,"

Baihaqi tidak mampu menggerakan bibirnya barang sedikit saja. Ia dilanda gundah yang membuncah di dalam dadanya. Bagaimana jika Gilang menyakiti Nurin? Hanya itu yang menghantui benaknya.

"Jika pada saat itu dia tidak tertembak, tentu klimaks dari permasalahan ini telah selesai berbulan-bulan yang lalu, tapi justru itu baru saja dimulai sekarang. Kita lihat saja nanti apa yang mau orang licik itu lakukan, sepertinya dia akan memalsukan DNA Naresha supaya sama dengannya untuk mengelabuhi publik mengenai bahwa Naresha adalah anak kandungnya dan bukan anak korban penculikan 9 tahun yang lalu."

"Pergilah,nak. In Syaa Allah, Allah pasti akan melindungimu." Berbeda dari orang-orang Abah lebih dulu memberi restu. Menurutnya langkah yang Nurin ambil adalah yang terbaik.

"Abah saya sebagai suaminya tidak memberi izin, bukankah seorang istri harus patuh pada suaminya?"

"Dan kamu sebagai suami apakah tega mengekang istrimu untuk bisa menyelamatkan seseorang?"

"Haqi, kamu percaya dengan saya kan?" Nurin mencekal kedua pundak Baihaqi dengan kepayahan.

"Apa tidak ada cara lain?"

Nurin menggeleng. Istrinya itu tersenyum sangat manis kendati kedua sudut matanya basah.

"Aku akan ikut mbak Nurin!" Sela Zahira tiba-tiba.

"Kalian ini bukan mau pergi arisan!" Baihaqi makin bimbang, dia gemas sendiri jadinya.

Kepergian rombongan yang hendak menjemput Naresha pergi diantar dengan doa dari seluruh santri ponpes Al-Jabbar. Pada akhirnya Baihaqi memang tidak punya kuasa untuk melarang Nurin, mau tidak mau ia akan membiarkan istrinya pergi tapi sebagai gantinya ia akan selalu ada disampingnya.

My Sontoloyo Imam [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang