Chapter 22

4 1 0
                                    

Untuk terlepas dari bayang-bayang bapak dan ibunya saja terasa begitu sukar. Ada kalanya Nurin kehilangan senyumnya selama berhari-hari lamanya ketika mengingat bagaimana Bapak menolak kedatangan Baihaqi pagi itu. Nurin semakin yakin bahwasanya kedua orangtuanya itu tidak pernah menghendaki kebahagiaan anak-anaknya. Selalu saja bersikap otoriter dan merasa punya kekuasaan lebih untuk memilihkan pasangan untuk anaknya.

Sosok seperti Baihaqi saja masih dicarikan tandingannya. Bapaknya memandang Baihaqi tidak lebih sebagai pria sok alim saja. Yang katanya sudah mencuci otak Nurin supaya gadis itu mulai memakai jilbab dan berpakaian lebih tertutup sesuai syariat islam. Pria itu bahkan bersumpah bahwa dia tidak akan bisa menikahi Nurin jika itu tanpa restunya.

Belum lagi soal permintaan bapaknya mengenai mahar yang harus Baihaqi serahkan yang makin menghanguskan perasaannya kepada bapaknya sendiri, bapaknya itu meminta supaya Baihaqi memberikan sebuah mobil dan emas sebesar 500 gram. Tentu Nurin merasa begitu hina sebab kelakuan bapaknya yang terkesan mau menjualnya. Kalaupun memang dijual, tentu Nurin hanya serupa barang bekas yang harganya tidak seberapa.

Alhasil, satu bulan berlalu dengan status mereka yang belum juga jelas. Kendati demikian Nurin tau betul upaya yang setiap saat Baihaqi lakukan untuk memenuhi permintaan bapaknya. Sejak kelancangannya untuk mencetak novel Forget Me Not yang memiliki banyak peminat serta banyak pula penentang, Vyn Publisher kerap dilanda krisis yang menyebabkan kondisi perusahaan penerbiatan mereka kerap tidak stabil.

Rasanya Nurin ingin menyerah saja dengan pernikahannya. Dia tidak mau membebani orang sebaik Baihaqi.

Senyuman Naresha di kejauhan sedikit banyak mengurangi beban pikirannya. Ia perhatikan anak itu dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. Saat ini Naresha menjalani perawatan disalah satu rumah sakit jiwa. Gadis itu bermain ayunan, dan hampir seharian ini Nurin menemani dari kejauhan. Senyum gadis itu memang belum jelas maknanya, tapi bagi Nurin itu merupakan senyuman yang indah.

Sudah jadi rutinitas Nurin untuk bekerja sebagai editor novel sambil menemani Naresha. Dia tidak pernah meninggalkan Naresha sendirian disana.

Nurin meletakkan laptopnya, langkahnya mendekati tempat Naresha bermain ayunan. Wanita itu membenahi jilbab Naresha penuh kasih sayang.

"Mama mau main ayunan?" Gadis itu memberi tawaran.

Nurin menggeleng, namun gadis itu justru segera turun dari ayunannya dan mendesak supaya Nurin duduk di ayunan tersebut. Kemudian keponakannya itu mulai mendorong ayunan untuknya dengan perlahan.

"Enak nggak ma?" Tanya Naresha antusias. Tidak mau membuat Naresha kecewa Nurin mengangguk dengan wajah cerahnya.

"Udah ah,mama malu! Kamu tuh yang masih cocok main ayunan!"

"Gapapa,Ma! Mama waktu kecil nggak pernah main ayunan kan?"

Benar.

Nurin segera menarik Naresha untuk duduk dipangkuannya sementara ayunan bergerak lambat.

"Kamu harus sembuh dan menjalani kehidupan dengan normal seperti anak seusiamu."

Naresha mengangguk. Ia pun kembali mengimbuhkan, "Mama mau kamu jadi anak yang ceria, punya banyak teman dan hidup dengan bahagia." Lagi-lagi Naresha mengangguk.

"Memangnya Aca kenapa,Ma? Aca nggak sakit kok!"

"Yang bisa merasakan sakit itu bukan hanya fisik kita saja, tapi mental kita juga bisa sakit."

"Aca bisa sembuh kan,Ma?"

"In Syaa Allah, perbaiki ibadah kita sama Allah maka Allah akan memperbaiki segala sesuatu untuk kita."

My Sontoloyo Imam [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang