***
Adzan magrib berkumandang lantang di Masjid Al-Jabbar. Para santri baik laki-laki maupun perempuan berbondong-bondong menuju Masjid megah milik Pondok Pesantren Al-Jabbar. Ada yang berbeda dengan Adzan di pondok mereka hari ini. Suara merdu itu sungguh asing. Mereka saling bertanya-tanya siapa gerangan yang menjadi Muazin.
Salah seorang santriwati sengaja mengintip untuk melihat saking kepalang penasaran. Ia mendapati pria yang asing berdiri menghadap kiblat. Terlihat gagah dengan balutan gamis putih dan sorban berwarna hitam putih tengah khusu'
mengumandangkan Adzan. Lantas begitu selesai, saat pria itu menoleh sedikit kebelakang santri itu sudah tidak kuat untuk mengintip lagi."Masya Allah!" Pekiknya lemas menghadap temannya. "Guanteng banget!" Girangnya. Padahal ia hanya melihat sedikit hidung pria itu yang mancung dan pipi putihnya yang bersih.
"Kamu jangan naksir mentang-mentang beliau ganteng! Beliau itu anak angkat Kyai Hasan, usianya sudah 24 tahun." Jika dibandingkan dengan usia mereka yang masih 18 tahun tentu terpaut jauh.
"Jadi kita harus manggil Gus,dong? Kan sama saja anak pak Kyai,"
"Beliau gak mau di panggil begitu dari dulu"
"Kok kamu bisa tau banyak soal beliau?"
"Itu..."
"Kamu stalker ya?"
"Astagfirullah,bukan!"
"Kalian berdua yang disana, kenapa heboh sekali?" Tegur Ustadzah. Sontak mereka diam, saling menyikut lengan satu sama lain.
****
"Sakha mati! Sakja mati! Sakha mati! Sakha mati,Pak,Bu! Sakha mati!" Pekikan Nurin magrib itu terdengar keras nan girang. Dia kembali setelah nyaris genap satu bulan dia kabur tanpa kabar, menggedor-gedor pintu rumanya. Mengundang rasa penasaran tetangga disekitar rumah bercat putih tersebut.
Apa dia tidak waras? Bisikan demi bisikan saling bersahutan menggunjing Nurin, membikin kuping Gilang rasanya seperti direbus. Kenapa Nurin tampak begitu senang memberi kabar duka itu kepada orangtuanya padahal dia tau kalau kabar itu bukan suatu hal yang baru? Orangtuanya sudah mengerti itu, hanya saja pada saat itu tidak berkenan mengurus jenazah Sakha. Lebih tepat kalau dia sekarang marah, dia sudah pergi jauh untuk mencari Sakha yang diyakininya masih hidup. Bahkan terlanjur menaruh harap kepada kakak laki-lakinya tersebut.
Pintu dibuka lebar, seluruh keluarganya menatap dirinya. Mata Ibu berkaca-kaca, ketiga adiknya memasang wajah senang, semua membuat hatinya sesaat merasa pulang kecuali wajah Ayahnya yang merah padam. Matanya melotot, urat lehernya menonjol. Sepertinya beliau siap menghajar dirinya. Benar saja,tak berselang lama pipinya terbuang kasar oleh tamparan Bapak. Tetangga makin gencar menggunjing, anehnya yang terus mendapat gunjingan itu Nurin meski mereka melihat ada kekerasan dari seorang bapak kepada anaknya sendiri.
"Ngapain kamu pulang,hah?!" Bentakkan Bapak masih seperti biasanya, keras menggetarkan hatinya. Adik-adiknya sudah sembunyi dibalik tubuh Ibu ketakutan.
"Sakha mati pak!" Nurin mengangkat wajahnya, menatap bapaknya dan tersenyum.
"Anak tidak tau diuntung! Dasar tidak berguna! Malu-maluin keluarga!" Emosi Bapak tidak pernah ada habisnya,pria separo baya berwajah garang itu mencengkram leher Nurin, mencekiknya marah.
"Memangnya apa yang udah Nurin lakukan selama ini? Kenapa bapak malu sama Nurin? Bukannya dari dulu Nurin nurut sama Bapak? Nurin nggak kayak Sakha, Nurin berusaha membanggakan kalian!" Tanya Nurin tercekat-cekat.
"Kamu tidak pernah membanggakan saya! Dan kamu tidak akan pernah bisa membanggakan kami! Bahkan saya menyesal memiliki anak seperti kamu yang tidak berguna ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sontoloyo Imam [LENGKAP]
RomanceROMANSA - SPIRITUAL Buruan baca sebelum Chapter-nya tidak lengkap lagi🥳 Ini klise, tapi Baihaqi yakin wanita yang ia tabrak sampai 3 kali itu adalah jodohnya sebab wanita bernama Nurin itu bisa menjawab jokes bapak-bapak darinya. Muhammad Al-Baiha...