Chapter 3

7 1 3
                                    

***

Dari dulu Nurin tidak pernah berfikir kalau hidupnya akan membaik. Ia menjalani kehidupan tanpa adanya harapan, melihat kondisi keluarganya yang justru kian memburuk dengan vonis gratitis kronis yang ibunya derita. Lalu belum lagi ayahnya yang merupakan pengangguran. Seolah meminta Nurin untuk menyerah saja.

Semua menjadi sulit karna Nurin mempunyai sedikit gangguan mental. Dia tidak bisa hidup selayaknya orang yang normal. Yang normalnya akan berusaha dan berjuang keras demi keluarganya,yang penuh tekad membara mengangkat kesengsaraan orangtuanya serta membahagiakan mereka seperti keinginannya saat masih kecil dulu. Memang tidak ada diagnosa valid akan hal tersebut, tapi bukankah Nurin ini aneh? Nurin tidak memiliki itu semua dalam dirinya. Dia hanya anak yang penakut,bahkan sejak dulu. Selalu di kekang membuatnya tumbuh menjadi introvert, Nurin benar-benar kesusahan dengan kepribadiannya itu. Bahkan Nurin yakin dia akan jadi anak yang ceria apabila tidak menjadi anak dari Ayahnya.

Nurin takut dengan harapan besar milik orangtuanya atas dirinya. Ketakutan itu bahkan sudah menghantui Nurin sejak ia masih ada di bangku sekolah dasar. Masa-masa dimana harusnya anak seusianya hanya disibukkan dengan bersenang-senang Nurin gunakan untuk memikirkan masa depan keluarganya.

Namun seolah perjuangannya selama ini untuk bertahan hendak semesta gagalkan dengan telfon dari adiknya menjelang Dzuhur tadi. Adik laki-lakinya menelpon dengan nada suara yang tinggi, nyaris menyerupai suara Ayah mereka. Nurin marah atas ketidak sopanan adiknya, hendak menyela tapi ucapan penuh kemarahan dari adiknya memanglah pantas untuk ia dapatkan.

"Lo pengecut ,Kak!" Tegasnya.

"Sama kayak bang Sakha!"

"Nyokap kumat lagi karna kepikiran sama lo Anjing!"

"Dimana lo sekarang?! Kenapa lo gak balik? Lo nggak tau tetangga-tetangga kita mulai jelek-jelekin elo?!"

"Pengecut!"

Seluruh ucapan Tama—adiknya ia telan mentah-mentah tanpa sebuah bantah. Hanya saja air matanya telah sepenuhnya meleleh.

"Maafin kakak." Pada akhirnya hanya itu yang bisa Nurin katakan, "Kakak mau cari bang Saka. Sambil nyari kerja juga, kakak titip Mama ya."

Secara sepihak Nurin memutus sambungan. Keheningan pun menyergapnya dari segala penjuru, sehingga tangisnya yang tertahan terdengar begitu keras nan memilukan bersama dengan notif spam chat dari Tama yang terus berdatangan.

****

"Minggat sana kamu! Nggak usah kembali kesini lagi! Kamu bukan anakku lagi mulai detik ini!"

Suara Ayah malam itu menggelegar mengalahi bantahan Saka yang tidak kapok meski sudah dipukul Ayah berkali-kali atas ulah nakalnya. Suasananya begitu chaos,mata Ayah seolah menyala-nyala membabi buta atas kakak pertamanya. Mama mencoba menahan namun terpelanting begitu saja. Nurin yang ketakutan membawa menjauh kedua adiknya agar tidak melihat hal tak pantas tersebut. Dan begitu rumahnya kembali hening, Mama terlihat menangis di kamar dan Saka yang pergi entah kemana.

Nurin terus berjalan membelah trotoar kota. Setiap langkahnya tak luput dari semua ingatan dari masa kecilnya tentang kakaknya itu. Saka memang bandel,dia suka keluyuran dan jarang pulang ke rumah padahal waktu itu ia masih anak SMP sementara Nurin SD kelas 2. Memang dasar Saka pemberani, tau ayah orang yang gampang marah dan kasar tapi masih saja bandel. Itu adalah kali terakhir Nurin melihat rupa Saka. Karna terbatasnya alat komunikasi yang kekuarganya miliki pada saat itu, Saka benar-benar tidak pernah kembali atau sekedar menghubungi Mama. Namun setahun yang lalu Nurin mendapat pesan dari nomor tidak dikenal yang mengaku sebagai kakaknya. Nurin sedikit ragu karna telponnya selalu di tolak oleh nomor tersebut. Dan sejak saat itu Nurin tidak lagi memperdulikan nomor itu. Hingga tiba-tiba muncul secuil harapan kalau itu memang nomor Saka, sehingga dengan harapan itulah Nurin mengajak kakaknya itu untuk bertemu.

My Sontoloyo Imam [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang