Chapter 29

4 2 0
                                    

Nurin bukanlah orang yang mudah bangkit dari keterpurukan. Kali ini ia baru merasakan kehilangan yang luar biasa atas kematian Sakha, padahal semua orang tau dia sudah lama terkubur di balik tanah. Bahkan ketika mengetahui kabar kematian Sakha untuk pertama kalinya, dirinya tidak berduka sama sekali. Nurin menangis sebab ia kehilangan harapan, bukan kehilangan kakaknya.

Berhari-hari wajah istrinya itu murung. Senyumannnya saat melepasnya pergi bekerja selalu terlihat sangat palsu. Kehangatan mereka perlahan padam, padahal mereka masihlah pengantin baru.

Semenjak Nurin tau Naresha bukan anak kakaknya, dia seolah kehilangan kepeduliannya terhadap gadis itu. Padahal Naresha telah sepenuhnya merasakan keamanan berada di dekat Nurin.

Nurin bukan seperti Nurin yang biasanya. Dia dingin, selalu diam dan tatapan matanya selalu kosong.

"Ya Albi," panggil Baihaqi, "Makanlah, sayang. Kamu terlihat sangat kurus," disentuhlah tangan istrinya yang kurus penuh perhatian.

Seperti robot Nurin pun mulai menyentuh sendok. Satu dua kali suapan yang ia ambil membuat Baihaqi tersenyum.

"Kamu mau jalan-jalan tidak?" Suasana terlalu hening jadi Baihaqi pontang-panting mencari topik pembicaraan. Akan tetapi Nurin masih enggan bicara, ia tetap menggunakan gestur tubuh sebagai jawaban. Mengangguk dan menggeleng, hanya itu yang Nurin lakukan setiap Baihaqi bicara. Dan seperti biasa Nurin menggelengkan kepalanya pelan.

Sebagai suami Baihaqi begitu sedih sebenarnya. Kenapa senyuman istrinya itu menghilang? Kenapa dia tidak bisa mengembalikannya?

Nurin tiba-tiba berdiri. Sebab sudah paham Baihaqi juga ikut bangkit dan memakai jas kerjanya.

"Baiklah! Ayo kita berangkat!" Sebisa mungkin ia tampak ceria. Tak peduli seberapa sedihnya ia melihat istirnya kini memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Padahal dalam angan Baihaqi, ia jauh lebih suka jika Nurin berada di rumah selayaknya ibu rumah tangga. Tapi untuk menghormati keinginan Nurin untuk bekerja supaya bisa membantu menafkai adik-adiknya di rumah, Baihaqi membiarkannya. Padahal Baihaqi juga rutin mengirim uang untuk mertuanya. Nurin kini sibuk mengurus cafe belajar milik Baihaqi. Setiap pagi mereka sudah sibuk mempersiapkan diri, lalu berpisah sampai bertemu kembali ketika sudah petang tanpa banyak pembicaraan. Dan biasanya setelah Isya Nurin terlelap. Baihaqi tak pernah menggangunya, sebisa mungkin ia juga tenang.

****

"Wajah lo jelek amat!" Ledek Zenoka dari muka pintu ruang kerjanya. Dia baru datang, membawa dua cup kopi.

Setelah dua tegukan Baihaqi bicara dengan gestur lelahnya ," Aku khawatir dengan istriku,"

"Nurin masih diem aja?" Tanyanya. Zenoka yang semula memandangi gedung-gedung dari balik kaca mendekat kearah Baihaqi, duduk diatas meja dengan sangat sopannya. Baihaqi tak punya tenaga untuk meladeni tingkah kakak tirinya itu diam saja.

"Udah tenang aja, Nurin kan imannya udah lumayan tuh, dia nggak akan kenapa-napa. Dia cuma butuh lebih banyak waktu aja,"

"Kita nggak bisa menilai keimanan orang lain,Bang! Hanya Allah yang tau itu!"

"Lo itu ovt karna pikiran lo sendiri aja Haq!"

"Bang, bukannya aku nggak percaya sama Imannya Nurin! Tapi dia itu tetap saja pernah mencoba bunuh diri! Dan yang aku tau kecenderungan untuk mati itu nggak gampang dihilangkan dari pikiran begitu aja. Oke, dia sekarang udah lebih ke agama dan coba memperbaiki iman, tapi gangguan jiwa itu tetap ada,Bang!"

"Penyakit jiwa itu ada, dan itu nggak melulu karna iman seseorang rendah!"

"Lo ngatain istri lo sendiri gila?"

My Sontoloyo Imam [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang