***
Sarapan pagi diatas meja makan, mengobrol seperti keluarga dan berangkat sekolah dengan bahagia lalu pulang dengan gembira merupakan suatu hal yang tidak pernah Nurin alami. Masa kecilnya suram, masa remajanya muram sehingga diusia dewasanya ini ia seolah tenggelam serupa kapal yang karam. Mendengar Naresha yang amat banyak bicara merupakan alasan kenapa ia jadi banyak diam. Melihat Naresha yang ceria menjadi alasan kenapa ia tak sanggub berkata-kata. Dan merasakan kebahagiaan disetiap senyuman gadis itu sanggub membuat matanya berkaca-kaca. Nurin memalingkan wajahnya, berhenti melihat keponakannya tengah melambai kepada mereka sebelum masuk kedalam area sekolah bersama teman-temannya. Rupanya Gilang sungguh memberikan gadis itu kehidupan yang layak dan juga perhatian seorang Ayah yang jelas tidak bisa diberikan oleh Ayah kandungnya sendiri. Bahkan Nurin juga tidak pernah mendapatkan itu.
Kaca mobil mulai tertutup, mobil Gilang mulai melaju membawa serta keheningan yang tersisa. Sesekali Gilang melirik dari back mirror mobil Nurin yang menatap kearah luar dengan pandangan sayu.
"Lo belom cerita ke gue alasan lo ada di RS," pecah sudah keheningan itu saat Gilang menagih penjelasan Nurin mengenai kenapa ia harus menjemput wanita itu di RS kemarin.
"Saya kemarin mau bunuh diri, beberapa orang baik menolong saya sehingga sekarang saya masih hidup,"
Mobil segera menepi tanpa alasan jelas, membuat Nurin bertanya-tanya mau kemana Gilang keluar. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun setelah ia berterus terang.
"Kenapa anda duduk disini?!" Pertanyaan pertama terjawab, laki-laki itu turun hanya untuk pindah tempat duduk disebelahnya. Lalu pertanyaan lain adalah, untuk apa dia melakukannya?
"Terserah gua,ini mobil gua," ujarnya dingin.
"Oke,saya keluar," bergerak,bergegas keluar namun tertahan oleh cekalan erat Gilang pada tangan kirinya.
"Lepasin saya!" Nurin mulai parno berupaya berontak. Alhasil upaya itu hanya membuat Gilang makin erat mencengkram lengan kirinya yang sedang tidak baik-baik saja. Laki-laki itu baru melepaskannya saat merasa tangannya dingin oleh sesuatu. Nurin pilih diam, kendati rasanya sangat sakit.
Tanpa banyak tanya Gilang mengataskan lengan kiri baju yang Nurin pakai hanya untuk mendapati perban tangan gadis itu yang putih merekah serupa mawar merah.
"Itu baru di jahit semalam, anda membuatnya sakit lagi," ujarnya dingin.
****
Baihaqi tampak mengecek kelengkapannya untuk pergi ke pesantren di halaman Perusahaan. Dia hanya membawa satu buah koper yang tidak terlalu besar. Beberapa karyawan yang mengintip dari balik pintu kaca yang sesungguhnya tidak bisa menyembunyikan mereka dari lirikan mata Baihaqi tampak sedih. Berpisah dengan karyawan-karyawannya menjadi tidak mudah, apalagi tentu ia tidak akan mendengar jokes bapak-bapak lagi ketika masuk ke kantor.
"Pak Bai!"
Segenap karyawannya sudah berjajar dihadapannya seperti tim paduan suara.
"Kalian ngapain?" Baihaqi terheran-heran.
"Anu,pak. Bapak tau nggak hewan yang bersaudara itu apa?" Kali ini bukan Masna yang bertanya. Tapi karyawan yang berbeda.
"Saya sama kamu," kedua alis tebalnya yang rapi naik turun centil.
"Hewan,Pak!" Koreksi mereka serempak.
"Ngapain sih kalian pada manggil saya bapak begitu,saya masih muda, ganteng lagi, masih single belum menikah apalagi punya anak!"
"Makanya pak, will you marry me?" Celutuk karyawatinya yang doyan ngemil.
"Maaf,Viona. Saya nggak akan nikah kalau bukan sama dia. Eh,tadi hewan yang bersaudara apaan? Serius nanya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sontoloyo Imam [LENGKAP]
RomanceROMANSA - SPIRITUAL Buruan baca sebelum Chapter-nya tidak lengkap lagi🥳 Ini klise, tapi Baihaqi yakin wanita yang ia tabrak sampai 3 kali itu adalah jodohnya sebab wanita bernama Nurin itu bisa menjawab jokes bapak-bapak darinya. Muhammad Al-Baiha...