22 - Alfred

73 12 0
                                    

RIUH suara lantunan musik bersama sorakan gembira para manusia. Lentera yang menyala tidak menerangi ruangan dengan sepenuhnya, cahaya lentera terasa sedikit redup. Matahari kembali terbenam kembali, bulan bersinar terang di langit, menyinari kehidupan manusia. 

Berdansa dengan pasangan masing-masing, mengenakan pakaian minim bahan, serta minuman yang terus diteguk berkali-kali. satu per satu dari beberapa orang mulai berjalan dan berdiri sempoyongan, tak kuasa menahan beban tubuh hingga terjatuh ke lantai tak sadarkan diri.

Maria duduk sendirian di kursi yang dekat dengan bartender. Tangannya menggenggam gelasnya yang masih terdapat minuman di dalamnya. Penampilannya tampak menarik—cantik. Terkadang ada beberapa pria yang mengajaknya berbincang, mengira jika perempuan yang ingin diajak berbincang bukanlah pembunuh berantai saat ini.

Netranya melirik ke arah lain, ingin mendengar perbincangan orang lain agar malam ini tidak terlalu membosankan. Sudah satu hari berjalan sejak pembantaian Desa Morohem, Maria tidak tahu lagi apa yang ingin dia lakukan.

Memang sedari awal, tujuan aku pun tidak begitu jelas.

"Adonis, ayolah, dia memiliki mata yang tajam, bak elang. Jika dijual—astaga ... bukankah penemuanmu sangat berguna kali ini? Aku bisa mengasahnya, lalu mencincang dagingnya setelah bakatnya semakin hebat. Lantas, uang yang kudapatkan bisa berkali-kali lipat jika organnya dijual," ujar pria dengan surai berantakan, wajahnya terlihat sudah mabuk akibat alkohol yang dikonsumsi.

"Sampai saat ini aku tidak memahami tentang keobsesianmu itu dengan organ manusia dan menjualnya. Jangan libatkan aku dengan pasar gelapmu itu, Lucius," ujar temannya.

Maria mendengarnya dengan jelas, ia sedikit terkejut. Itu perbincangan singkat yang menyeramkan. Maria tidak begitu terkejut dengan fakta bahwa organ manusia dijual di pasar gelap, ia hanya tidak menyangka bertemu orang seperti mereka di tempat ini.

"Hei, Lucius, lihat ini. Desa Morohem hancur, mayat berserakan di mana-mana. Mungkinkah polisi militer mengejar pelakunya?" Teman Lucius menampilkan berita di koran yang ia baca.

Lucius menggeram kesal. "Berita tak berguna. Aku tidak ikut campur, Adonis."

Eh?

Netranya membulat, entah mengapa tubuhnya tak bisa digerakkan. Samar-samar telinganya mendengar suara langkah kaki, tetapi samar sekali. Maria menoleh ke arah luar, menatap jendela kaca besar yang menampilkan suasana luar. Di luar sana sudah sepi, tak ada orang yang berlalu-lalang. Suara langkah kaki itu kembali hilang, seakan tersamarkan oleh bisingnya bar ini.

Maria menoleh ke belakang, netranya berlarian menatap orang-orang yang menurutnya mencurigakan. Benar saja, terdapat tiga orang yang duduk dipojok dengan jubah yang ia kenal. Namun, bukan mereka yang membuat suara langkah kaki. Masih ada orang lain.

Keparat ... mereka bertiga Celestial. Bawahan Louis.

Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi satu detik kemudian. Pada akhirnya pintu bar didobrak kencang oleh sekelompok polisi militer. Mereka menodongkan senjata mereka, membuat orang-orang di dalam bar yang sebelumnya bersorak gembira berubah menjadi bersorak ketakutan.

Orang-orang kabur, ada juga yang bersembunyi saat para polisi militer mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam bar. Ini gawat untuk Maria, melihat netra mereka yang tampaknya sedang mencari seseorang.

Tak salah lagi, mereka pasti mencariku perihal Desa Morohem.

Maria melompat ke meja bartender hingga berada di area bartender. Ia berjongkok, lalu berjalan cepat seraya berjongkok ke arah pintu yang berada di samping rak botol alkohol. Maria membuka pintu tersebut, lalu menutupnya kembali. Ia berdiri dan menoleh ke berbagai arah, saat ia melihat sebuah lemari besar di sampingnya, Maria mendorong lemari tersebut hingga pintu terkunci.

Ia melihat ke sekeliling, lalu mengambil sebuah botol alkohol dan lentera. Terdapat sebuah tangga melingkar, Maria menaiki tangga itu dengan tergesa-gesa. Ia mendapati dirinya berakhir di rooftop bangunan dan ia merutuki dirinya sendiri. Mau tidak mau ia perlu melompat dari satu bangunan ke bangunan lainnya untuk kabur. 

Maria membanting botol alkohol hingga pecah. Pecahan botol tersebut ia pakai untuk merobek sebagian gaunnya agar ia mudah berlari. Sepatu boots miliknya dilepas, lalu ia melepas tutup lentera dan menaruh lentera bersebelahan dengan genangan alkohol. Api mulai menyala dan menyebar, Maria lari kabur dan melompat ke bangunan lain.

Naas, saat ia melompat, tentunya berhasil, tetapi tubuhnya terbanting dan hidungnya berdarah. Maria menyeka darah di hidungnya, lalu lanjut lari kembali untuk melompat ke bangunan lain lagi. Kakinya pincang, rasanya seperti tulangnya patah, tetapi ia akan mati di sini jika tidak mencoba kabur.

"Itu dia! Dalang dari Desa Morohem!" teriak seorang polisi militer dari bawah bangunan. 

Dari mana mereka tahu?! Apa mungkin karena jejakku masih ketahuan dari mayat Anna?

Mau tidak mau ia perlu mengerahkan seluruh energinya untuk kabur. Saat terdapat tangga di samping bangunan yang hendak ia pijaki rooftop-nya, Maria melompat ke arah tangga tersebut agar dapat turun ke bawah.

Entah apa yang ia pijak, kakinya sepertinya mengeluarkan darah. Maria kembali merobek sebagian gaunnya dan mengusap telapak kakinya sejenak. Benar saja, kakinya berdarah. Bukan perihal rasa sakit, tetapi ia bisa saja memberikan jejak kepada para polisi militer.

Maria masuk ke dalam gang kecil, lalu bersembunyi di balik tong sampah. Menjijikan sekali, ia perlu menahan rasa jijiknya saat para kecoa berada tepat di sampingnya. 

Ini lebih menakutkan dibanding dikejar polisi militer.

Maria menajamkan pendengarannya, mencoba mendengar suara langkah kaki polisi militer. Susah sekali, mereka seakan berlari tanpa mengeluarkan suara. Namun, saat beberapa menit berlalu, suara langkah kaki telah hilang, benar-benar hilang. Maria dengan segera berlari kabur dari para kecoa.

Kapal, aku harus ke kapal.

Pepohonan rimbun yang gelap perlu ia hadapi, berlarian di hutan tanpa cahaya bantuan, hanya mengandalkan cahaya bulan. Kakinya dingin sekali, pahanya bahkan terpampang cukup jelas akibat gaun yang dirobek berantakan. Udara malam ini sangat dingin, wajah Maria bahkan sudah pucat sekarang. 

Kapal miliknya sudah terlihat, ia berlarian ke kapalnya, mencoba mempersingkat waktu untuk kabur ke mana saja. Namun, tubuhnya sempat terjatuh saat sudah mendekati kapal, rasa pusing di kepalanya membuat tubuhnya lemah. Masih mencoba berjalan, berpegangan pada pohon agar tidak terjatuh.

Baiklah, kabur ke mana aku sekarang?

***

Lautan terlihat seperti tanpa ujung. Matahari sudah terbit kembali, sudah berada di titik tertingginya di mana sinar matahari sangat terik dan cuaca terasa panas. Maria membawa kapalnya entah ke mana, asalkan ia dapat kabur, maka ia akan terus membawa kapalnya. Tubuhnya benar-benar seperti mayat hidup, hampir tak mampu bertahan. 

Saat sebuah pulau terlihat, Maria merasa jiwanya seperti kembali. Kapalnya dibawa ke pulau itu, ia turun dan berlari kencang. Masih berada di antara pepohonan rimbun, belum memasuki perkotaan. Namun, ia mungkin akan mendapat masalah jika ia bisa saja tiba-tiba pingsan dan ditemukan orang lain. 

Maria mendengar suara bising, seperti suara napas yang tersengal-sengal. Maria mengikuti arah suara itu, berjalan sempoyongan seperti mayat hidup. Hal yang tidak ia harapkan benar-benar terjadi. Tubuhnya tergeletak di tanah, jatuh ke tanah dengan penampilan yang begitu berantakan.

Dari kejauhan, pria yang sedang duduk di atas batu besar dengan napas yang tersengal-sengal mendengar suara tubuh Maria yang terjatuh. Ia berlari ke arah suara, mendapati Maria yang seperti mayat.

"Hei? Hei, jawab aku. Hei! Kau dari mana? Apa yang terjadi?!" Ia terdiam sejenak, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, pada akhirnya ia membawa tubuh Maria, menggendongnya dengan perlahan. Surai hitam dan netra birunya sangat cocok di wajahnya. Tubuhnya berotot seperti seorang prajurit, wajahnya tegas dan alisnya tebal.

Maria dapat merasakan tubuhnya diangkat dan dibawa. Ia membuka kelopak matanya sedikit, berkedip beberapa kali untuk menetralkan sinar matahari. "Si-siapa ... kau?"

"Alfred."

𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang