29 - Volkov Zivkovie

53 8 0
                                    

LAGI dan lagi, waktu berjalan sangat cepat. Malam berganti pagi, pagi berganti siang, siang berganti sore hingga sore berganti malam. Berbagai hal yang ia lakukan tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, hanya saja apa yang ia kuasai kini semakin membesar. 

Kala itu nyatanya menjadi terakhir kalinya ia melihat Alfred. Sentuhan, kalimat, dan pandangan yang nyatanya menjadi terakhir mereka bertemu. Siapa sangka, kala itu tahun 1849 dan Alfred benar-benar membunuh Stephen untuk bangsanya sendiri, tetapi tak ada yang berubah, justru satu tahun kemudian peperangan besar terjadi.

Moonhaven dan Avaloria berperang, di saat sehari setelah kematian Alfred. Itu menyedihkan sekali, Maria bahkan tidak mampu berpikir dengan jelas saat mendengar berita semacam itu. Bayang-bayangnya tentang kematian Alfred kerap kali terlintas di dalam benaknya, berpikir tentang nasib anaknya—Vivienne—yang bertahan hidup pada keadaan yang kacau.

Banyak perubahan terjadi, dua bangsa itu berperang dingin usai peperangan yang tidak menyatakan siapa yang kalah dan menang. Pergantian raja pada bangsa Moonhaven membuat perubahan besar, tak ada lagi kemiskinan dan ketidakadilan.

Lantas Maria—masih terus mengendalikan Heimvo atas perintah Lucius yang tak lagi bisa berbuat apa-apa. Tak ada yang menarik, semua berjalan biasa-biasa saja dengan perdagangan ilegal yang terus ia lakukan.

Maria duduk di kursi milik Lucius, membaca buku dengan tenang. Namun, suara pintu diketuk mengalihkan perhatiannya. "Masuk."

Pintu dibuka, memperlihatkan dua pria yang bekerja di Heimvo membawa seorang pria yang berlumuran darah. "Nona, kami membawa 'barang' lagi," ujar salah satu pria itu dengan senang. Maria melihat ke arah pria yang dibawa, wajahnya penuh dengan luka lebam dan darah yang mengalir.

"Sudah kubilang, tugas kalian bukan melakukan ini." Maria mendekati pria yang dibawa, melihat wajahnya dengan saksama. "Aku seperti mengenalinya. Kalian menemukan dia terluka?"

Mereka mengangguk. "Di belakang restoran tengah kota, kami menemukannya sudah terbaring begitu saja," ujar yang satunya lagi. 

Maria menaikkan satu alisnya, tampak curiga dengan pengakuan mereka. Maria berjongkok dan memegang dagu pria itu, melihat dengan jelas luka di tubuh dan wajahnya. "Bohong. Ini luka baru, tak mungkin darah dan lukanya tampak masih seperti ini jika kalian menemukannya."

Kelopak mata pria itu bergerak sedikit, membuat Maria mengembuskan napasnya. "Heimvo sudah berubah, kami tidak menerima yang masih hidup, Heimvo menerima yang sudah mati jika 'barang' yang ditemukan berasal dari tempat yang sembarang." Maria melirik ke arah mereka. "Gaji kalian aku tambahkan. Kalian tidak perlu menghajar orang seperti ini demi mendapat uang tambahan, bilang saja padaku." Maria berdiri kembali, mengambil beberapa lembaran uang kepada mereka.

Mereka bingung antara senang atau merasa bersalah. Satu per satu dari mereka mulai pergi meninggalkan ruangan, membiarkan Maria bersama pria yang terluka. Maria melihat ke bawah, menatap pria itu yang terbaring dengan penampilan yang menyedihkan.

Perlahan-lahan, kelopak matanya terbuka, melihat ke sekeliling dengan tubuh yang lemas. "Di mana ... di mana aku?" rintihnya seraya menahan rasa sakit. Maria menarik tangan pria itu dengan perlahan dan dirangkulkan pada lehernya. Membawa pria itu untuk duduk di kursinya.

Maria membiarkan pria itu duduk lemas di kursi, sementara ia mengambil sebuah kotak berwarna putih berisi obat-obatan. Maria mendekatinya kembali, duduk di atas meja dan mulai mengobati wajahnya yang berantakan.

Surai hitamnya berantakan, kelopak mata yang terbuka sedikit menampilkan netra biru yang indah. Maria cukup terpesona, tetapi ia menghilangkan pikiran aneh di benaknya.

Pria itu menatap Maria dalam-dalam, wajah mereka cukup dekat dan ia dapat merasakan napas hangat dari Maria. "Siapa ... kau?"

Maria menatapnya, tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia kembali menaruh kotak putih itu di sebuah lemari sebelum menjawab pertanyaan pria itu. "Marie Vienna." Maria duduk kembali di atas meja, berhadapan dengan pria itu. "Siapa namamu?"

𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang