19 - Balon Biru

93 24 26
                                    

PEPOHONAN rimbun yang menjulang tinggi bersama roti daging yang perlahan-lahan lenyap. Memakannya dengan lahap seraya telinganya masih setia mendengarkan pria tua di sampingnya membicarakan Desa Morohem. Perjalanan yang mereka tempuh telah berjalan cukup lama, tetapi netranya belum kunjung melihat rumah-rumah pedesaan. Masih di tengah hutan, entah di mana.

"Desa Morohem terkenal sebagai desa yang damai, tetapi orang-orang tidak tahu sisi gelap di sana." Keith secara tiba-tiba menyatakan hal tersebut. Maria menoleh, menunggu Keith berbicara. "Kepala desa di sana—Henry, dia gemar bermain dengan wanita. Namun, istrinya bahkan tidak bisa melawan, tetap terus diam. Semetara anaknya secara tiba-tiba akan menikah beberapa hari lagi. Aku berpikir jika anaknya hamil."

Maria menggeleng perlahan. Sungguh drama keluarga yang merepotkan. "Apakah itu meresahkan warga desa?"

Keith menggeleng. "Tidak, tetapi itu tidak bermoral, Anak Muda. Di Desa Morohem terdapat dua puluh enam anak-anak dan mereka semua mengenal anak Henry, maka itu akan menjadi contoh yang buruk. Namun, aku tidak memiliki hak untuk beropini mengenai hal itu. Tentang ia hamil atau tidak bahkan belum tentu benar faktanya."

"Dua puluh enam anak?"

Keith mengangguk. "Ini bukanlah desa yang begitu besar."

Ini akan mudah.

Perlahan-lahan netranya mulai melihat atap-atap rumah kayu sederhana. Semakin mereka melangkah, mereka semakin dekat dengan desa. Pada akhirnya mereka berdiri di atas tebing dengan pemandangan di bawah sana rumah berbahan kayu dengan desain sederhana dan lentera yang dinyalakan di beberapa tempat.

Keith berjalan melewati sebuah jalanan menurun, Maria mengikutinya dari belakang. "Kalau boleh tahu, siapa nama anak Henry?"

"Dia gadis tercantik di desa ini, Anna."

Itu dia!

Maria tersenyum lebar, jantungnya berdegup kencang. Pikirannya sudah membayangkan fantasi jahatnya yang akan ia lakukan. Setiap ia terdiam, otaknya bekerja untuk menyusun rencana demi fantasinya.

Langkah kaki Keith berhenti di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar. Maria ikut berhenti, ia menatap Keith yang kini menatap ke arahnya. "Kau memiliki tempat untuk bermalam?" tanyanya, Maria menggeleng. "Ini rumah milikku yang isinya hanya kasur dan kamar mandi, kau bisa menggunakannya. Maaf jika berantakan." Keith membuka pintu rumah tersebut dan mempersilakan Maria masuk.

Aroma debu memenuhi indra penciumannya. Maria terbatuk-batuk akibat debu yang berterbangan dari beberapa sisi. "Ya ... baiklah. Omong-omong, aku ingin bertanya."

Keith menunggu Maria membuka suara, sementara dirinya mengeluarkan sebuah peledak kecil dari balik gerobaknya secara perlahan-lahan agar isi gerobak tersebut tidak terlihat. "Bisakah Pak Keith memasukkan benda ini ke dalam dua puluh enam balon? Aku ingin membagikannya ke anak-anak di sini."

Keith masih diam, kini justru ia membelalakkan matanya. "D-dua puluh enam?! Kau serius, Anak Muda?!" 

Maria mengangguk. "Aku serius, Pak Keith. Namun, berhati-hatilah dalam memasukkan benda ini."

"Memangnya apa itu?"

"Ini akan menyala di dalam balon tersebut. Lakukan saja, nanti aku bayar. Tunggu sebentar, aku akan siapkan semuanya." Maria membawa gerobak tersebut masuk ke dalam rumah dan membuka kain yang menutupinya. Maria berusaha membuat Keith tidak melihat isi gerobaknya dengan terburu-buru mengambil semua peledak yang ia bawa. Satu per satu di masukkan ke dalam plastik kecil, memudahkan ia untuk membawanya.

Setelah dirasa cukup, Maria kembali ke Keith dan memberikan plastik yang sudah penuh dengan peledak. "Di mana rumah Pak Keith? Biar aku yang akan datang membawa balonnya jika ini semua telah siap."

𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang