RUANGAN gelap tanpa pencahayaan, bau dan membuat napas terasa tercekat. Oksigen terasa berat, di dalam ruangan terasa dingin, bersama suara lirih dari beberapa anak kecil. Bermain-main takdir adalah hal yang ia sukai, dan takdir benar-benar berpihak padanya. Selalu dipertemukan pada takdir baik yang buruk, melancarkan rencananya untuk tujuan 'mulia'.
Mata yang semula terpejam, kini mulai membuka kelopak matanya. Ia perlu menyesuaikan diri pada ruangan yang tidak ada pencahayaan, tetapi terbantu pada sela-sela ruangan yang bolong, membuat cahaya dari luar masuk ke dalam. Ia melihat ke sekeliling, kanan dan kirinya penuh dengan anak kecil yang mulutnya ditutup kain dan tangan yang diikat. Semua anak kecil hampi seumuran dengannya, tetapi lebih banyak yang lebih muda darinya.
Mulut yang ditutup kain, pakaian lusuh, dan suara lirih bersama air mata yang terus menetes. Melihat kondisi mereka, Maria menyadari apa yang terjadi. Pada kesedihan di dalam ruangan ini, semua anak-anak berharap jika terjadi sebuah takdir baik akan datang dan menyelamatkan mereka dari neraka ini. Namun, Maria senang bukan main.
Telinganya di fokuskan dengan baik agar mendengar suara di luar sana, mengabaikan tangisan kecil dari anak-anak di ruangan ini.
Suara sorakan dari orang-orang yang menawarkan harga tinggi. Jantungnya berdebar, senang bukan main. Pintu ruangan dibuka, membuat cahaya terang dari luar masuk ke dalam. Maria yang duduk di depan pintu membuatnya perlu mengedipkan matanya beberapa kali. Dua orang pria membawa kotak besar.
"Giliranmu." Salah satu pria itu menarik pundak Maria dan memasukkannya ke dalam kotak besar. Pintu kotak ditutup dengan kasar oleh pria lainnya. Maria masuk ke dalam kotak tersebut dan kotak itu berjalan karena di dorong.
Takdir berpihak padanya.
"Barang kedelapan!"
Suara sorakan penonton membuat Maria semakin bersemangat. Saat kotak berhenti, Maria yakin ia sudah berada di tengah panggung. Kotak dibuka, tubuhnya ditarik keluar dan kain yang berada di mulutnya dilepas. Dua pria itu kembali ke belakang panggung, membiarkan Maria terduduk di tengah panggung dengan cahaya yang berpusat padanya.
Sorakan penonton semakin meriah, beberapa dari mereka berdiri tegak. Benar kata Liam, pelelangan dilaksanakan di tempat yang berbeda. Tidak ada balkon dengan tempat duduk khusus di atas sana. Maria mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba menyesuaikan pencahayaan. Mengabaikan orang-orang yang menawarkan harga tinggi, ia fokus melihat satu per satu orang yang duduk di kursi.
Maria sedikit mengumpat kesal, beberapa orang berdiri yang membuatnya sulit mengenali wajah yang ia cari. Netranya berlarian mencari orang yang ia incar—ketemu. Duduk di ujung atas dengan tempat duduk yang gelap, membuatnya cukup sulit dilihat. Nikolov Trifonov.
Maria berkontak mata dengan Nikolov. Ia melihat pergerakan Nikolov—ia tidak berteriak nominal yang ingin ia keluarkan. Maria mengumpat kesal, ia menoleh pada beberapa orang yang semakin meninggikan harga. Khawatir dirinya akan dibeli oleh pria hidung belang yang membuat rencananya gagal.
"Delapan ratus!"
"Delapan ratus lima puluh!"
"Satu miliyar!"
Maria menoleh ke orang yang meneriaki nominal tersebut. Netranya bergetar, ia akan benar-benar dibeli oleh orang lain.
"Whoa! Nominal yang sangat besar! Satu—"
"Dua miliyar!" teriak seseorang dari ujung. Maria bergetar, tubuhnya kaku, tetapi ia mencoba menoleh. "Dua miliyar, berikan dia padaku," teriak Nikolov yang berdiri tegak.
Pembawa acara terdiam, tetapi wajahnya bersinar. "Astaga, Tuan Nikolov memang sangat bersungguh-sungguh. Maaf untuk yang tadi, Tuan Nikolov yang berhasil mendapatkan gadis tercantik yang kami punya hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)
Ficción histórica{Prequel The Chronicles About Us} Terbaring lemah, tak menjadi milik siapa pun. Kota bagaikan neraka bersama manusia dengan kasta tinggi bagaikan pendosa besar. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial membuatnya menjadi korban dari semua nasib buruk yan...