DINGIN, sunyi, gelap. Ruangan berbentuk persegi tanpa suatu barang di dalamnya. Lantai terasa sangat dingin, ruangan penuh dengan keheningan. Entah sudah berjalan berapa lama, tubuhnya masih terkapar di atas lantai dengan tangan yang diikat dengan tali. Mungkin waktu telah berjalan cukup lama hingga bulan kini mencapai titik tertingginya. Mewarnai kesunyian malam, menemani kesialan malam kali ini.
Pandangan yang sebelumnya kabur dan tubuh yang tak berdaya, pada akhirnya kelopak mata yang sebelumnya terpejam kini telah terbuka. Berkedip-kedip beberapa kali untuk menyesuaikan pencahayaan. Netranya berlarian, menerka-nerka tentang ruangan ini dan di mana ia dibawa. Dingin, sunyi, gelap. Tidak ada lentera, hanya terdapat pintu yang memiliki celah dan membiarkan cahaya lentera masuk melalui celah tersebut.
Maria bangun, berusaha duduk.
Ia melihat ke dirinya sendiri—tangannya diikat. Ia mengembuskan napasnya, tidak memiliki banyak ide untuk kabur. Kepalanya masih terasa sakit, cukup susah untuk berpikir. Namun, indra pendengaran yang masih normal miliknya itu dapat mendengar dengan jelas langkah kaki berbalut sepatu boots berjalan mendekati ruangannya. Langkah kakinya bergema, terdengar sangat jelas. Suara langkah kaki berhenti di saat orang yang berada di luar itu berdiri di depan ruangannya.
Suara pintu dibuka dengan kunci terdengar jelas. Orang itu masuk dengan lentera yang berada di tangannya. Maria tidak bisa melihatnya dengan jelas, kegelapan pada ruangan ini begitu menyiksanya. Namun, Maria dapat memastikan jika itu adalah seorang pria. Pria itu menaruh lentera pada gantungan lentera di dinding. Berjongkok di hadapan Maria, wajahnya perlahan-lahan mulai dapat dilihat.
Dia orang yang tadi ....
"Berapa umurmu?"
Maria terdiam, ia sendiri tidak tahu kapan ia lahir dan berapa umurnya. Tak menjawab, Maria menghiraukannya.
"Stephen Bruce." Pria itu mendengus kesal, tetapi tangannya kini meraih surai Maria. "Kau benar-benar mirip dengannya."
Alisnya menyatu, tidak memahami apa yang Stephen katakan. "Siapa namamu?" rintih Stephen dengan suara yang bergetar, netranya perlahan-lahan mulai ingin menjatuhkan buliran bening.
"Apa pentingnya untukmu?"
"Sangat penting." Netra hijau milik Stephen masih berair. Namun, kini buliran bening itu menang, membasahi kedua pipi Stephen. Tangannya meraih pipi Maria, mengusapnya perlahan.
"Marielle ..., apa ini dirimu?"
Apa maksudnya ini?
Bibirnya bergetar, suaranya tertahan dan ia menunduk. Tubuhnya bergetar, menahan diri untuk tidak menangis berlebihan. Tangannya mengusap pipi Maria perlahan, merasakan dinginnya tubuh Maria.
"Aku yakin—sangat yakin ..., kau adalah Marielle. Ya, kau benar-benar dirinya."
Maria terdiam seribu bahasa. Jantungnya terasa diremuk dengan kencang, kebingungan melanda di pikirannya. Melihat pria yang tak ia kenal menangis dan menyentuh wajahnya tentu membuatnya bertanya-tanya. Berbagai macam pertanyaan muncul di benaknya, tetapi tertahan pada dirinya yang juga merasakan rasa sakit saat melihat betapa menyedihkannya kondisi Stephen.
Netranya yang membulat menatap ke arah Stephen yang sebelumnya menunduk, kini saling bertemu. Netra keduanya bertemu, bersama tatapan terkejut Maria.
Stephen terkekeh walau wajahnya sangat berantakan. "Tidak salah lagi, kau Marielle."
"Kau benar-benar mirip dengan Rose, Marielle. Wajahmu—sangat mirip. Dahulu, saat aku bertemu dengannya saat aku sudah bersama wanita lain, ia tengah mengandung bayi kembar. Aku yang menamai kalian. Namamu Marielle, 'kan?" lanjut Stephen.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)
أدب تاريخي{Prequel The Chronicles About Us} Terbaring lemah, tak menjadi milik siapa pun. Kota bagaikan neraka bersama manusia dengan kasta tinggi bagaikan pendosa besar. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial membuatnya menjadi korban dari semua nasib buruk yan...