21 - Berbahagialah dengan Nikolov di Neraka, Anna

88 20 20
                                    

MARIA benar-benar melakukannya. Matahari terbenam secara perlahan, masih bersama rintik air hujan yang terasa sedikit deras dengan angin yang menerpa tubuhnya. Kakinya melangkah menjauhi perempuan yang baru saja ia rusak kehidupannya. Berjalan kembali ke desa.

Kepalanya mendongak, menatap ke arah langit. Senyumnya merekah saat ia melakukannya di waktu yang ia inginkan, terlebih lagi dengan keadaan desa yang di setiap sisinya sudah sedikit hancur akibat ledakan. Dapat ia lihat dengan netranya sendiri, semakin ia berjalan, semakin banyak sisa-sisa balon biru yang hancur bersama tubuh anak kecil yang sudah hancur berantakan.

Organ dalamnya keluar, darah bercampur dengan genangan air. Seandainya desa ini akan mengalami kebanjiran, mungkin akan desa ini benar-benar akan menjadi lautan darah.

Suara keributan terdengar dari jauh sana, membuat Maria semakin melangkah lebih cepat. Jantungnya berdebar, rasa senang menjalar di dirinya. Kehidupan yang ia pandang selama ini benar-benar ia lakukan, yaitu dengan memberikan kematian sebagai takdir akhir manusia.

Saat netranya menangkap orang-orang berkumpul di satu titik dengan membentuk lingkaran dan meneriaki hinaan kejam, Maria senang bukan main. Ia ikut bergabung ke kumpulan orang-orang itu, dan lihatlah, George sedang di amuk masa oleh warga Desa Morohem. Tubuhnya lebam-lebam, ia duduk dam memeluk dirinya sendiri seraya menangis dan berteriak memohon pertolongan ibunya.

"Hajar saja dia! Anakku diberi balon itu!"

"Anak Iblis! Hei, panggil ibunya! Bawa sini! Hakimi ia dan bakar dia hidup-hidup!"

"Apa-apaan?! Aku yakin ini salah paham! George tidak mungkin seperti itu!"

Berbagai teriakan membela dan memojokkan George terdengar di berbagai arah. Lalu suara teriakan seorang wanita tua yang datang berlari ikut masuk ke dalam kerumunan mengalihkan perhatian semua orang. Wanita tua itu memeluk George yang perlahan-lahan tubuhnya mulai lemas, ia menatap semua orang dengan ketakutan yang bercampur dengan amarah.

"Hei, Marcel! Anakmu membunuh anak kami! Bertanggung jawablah! Lihat kekacauan di setiap sudut desa, mayat berserakan di mana-mana!" bentak seorang pria.

Marcel menggeleng dengan tubuhnya yang bergetar. "Ti-tidak! Ini fitnah, tidak mungkin George melakukan hal semacam itu. Semua orang tahu sendiri, bukan, jika George bahkan anak baik-baik! Tidak memiliki masalah!"

Pria lainnya mendecih. "Omong kosong! Lalu dengan pembelaanmu itu akan membuat kehidupan anak kita kembali? Apa kau tidak melihat semua orang tua di sini menangis dan menjerit karena ulah anakmu?!"

Maria melepas tas selempangnya, ia membuka resletingnya dan menaruhnya di bawah. Semua atensi orang-orang berpusat pada tas tersebut. Bukan main, isinya revolver dengan peluru yang terisi penuh dan beberapa peledak. "Semuanya, kalian bisa gunakan ini untuk mengadili seseorang."

Beberapa dari mereka terkejut dan ketakutan, bergumam jika tidak ingin melakukannya walau air mata terus mengalir menangisi keluarganya yang mati. Maria menatap Marcel, tubuhnya sedikit menunduk dan mulai berbisik. "Tidak semua yang damai akan berakhir dengan damai juga. Dan sebuah surat berisi suruhan dan petunjuk adalah hal yang harus dilakukan karena itu akan benar-benar terjadi. Terlepas dari kotak itu, apa pun caranya akan bisa dilakukan walau tidak menggunakan benda di dalam kotak tersebut, kok. Asalkan, pikirkan dirimu apakah kau puas membalas para iblis menuduh sang terkasih dengan membunuh tanpa membuat lautan penuh darah."

"Aku yakin kau membaca baik-baik surat itu. Gunakanlah saat iblis menyerang sang terkasih atas tuduhan busuk. Matahari akan tenggelam, bulan akan datang, dan di saat itulah kau boleh membukanya lalu menggunakannya. Pakailah saat matahari terbenam. Mereka yang baik, tak sepenuhnya suci. Pada cahaya kehidupan, kegelapan akan menyelimutinya, dan kematian datang untuk menjemput semuanya."

Netra Marcel bergetar, Maria mengusap pelan surai Marcel. "Iblis sudah menyerang sang terkasih, matahari sudah terbenam, maka kau boleh menggunakan isi dari kotak itu. Mereka bahkan ingin membuatmu dan anakmu menemui kematian, lantas mengapa kau tidak membalasnya? Untuk apa membiarkan mereka tetap hidup untuk membunuhmu jika manusia terlahir untuk mati dan hidup untuk mati." Maria melirik ke arah George. "Dan mungkin saja George sudah memenuhi prinsip itu. Lahir dan hidup hanya untuk kembali mati."

Satu per satu revolver tersebut diambil, beberapa orang mencoba memakainya, walau pada akhirnya berakhir kacau—tak sengaja membunuh. Mereka mengira itu hanya mainan, tetapi itu asli.

Maria berjalan mundur, lalu melihat ke arah sekitarnya yang sedang sibuk dengan revolver mereka masing-masing. Marcel dengan tangannya yang bergetar, ia mengeluarkan revolver dari balik saku gaunnya dan berdiri tegak.

Suara keras memenuhi setiap sisi desa. Tak hanya mereka yang mencoba membunuh Marcel, tetapi justru beberapa dari mereka menggunakan revolver untuk membunuh orang yang nyatanya ia benci. Berbagai caci makian dan teriakan terdengar dengan jelas. Satu per satu orang jatuh mencium tanah dan bersimbah darah. 

Maria berlari kabur ke atas tebing, ia berlari kencang untuk mencoba menjauhi kekacauan dan agar tidak terkena peluru yang akan menembus tubuhnya. Suara teriakan atas permohonan ampun dan kebencian serta amarah menjadi satu. Benar-benar kacau, desa yang dikenal dengan kedamaian penduduknya, nyatanya berubah menjadi neraka pada kehidupan, lalu mereka akan mati untuk bertemu dengan neraka kembali.

Maria mampu membuat neraka untuk orang lain tanpa perlu menyentuh. Lisannya bagaikan racun ular yang mematikan. Dari berbagai macam iblis, atau bahkan tujuh dosa besar di dunia, Maria adalah perwujudan dari semua iblis dan tujuh dosa besar. Filosofinya benar-benar membutakannya, menghilangkan alasan manusia untuk hidup di dirinya, dan menguasai jiwanya tentang kematian.

Entah itu akan menjerumuskan dirinya pada neraka yang paling dalam karena menjadi seorang manusia berhati iblis, ia tidak akan menyesal. 

"Hai, Anna. Apa kau lihat keadaan desa? Kacau sekali, ya? Sudah seperti di neraka saja." Maria tersenyum manis. Anna masih mencoba memberontak, merengek kesakitan dan ketakutan.

"Entahlah, aku tidak tahu jika ini neraka atau bukan. Eksistensi surga dan neraka saja tidak aku percayai, kehidupan ini isinya hanyalah lelucon. Lelucon yang akan berakhir saat kematian itu tiba. Apa kau mempercayai tentang kehidupan, Anna?" tanya Maria seraya menatap ke arah desa, membelakangi Anna.

Maria tak kunjung mendapat jawaban, ia menoleh. "Ah, maaf, aku lupa kau sedang bisu." Maria berjalan mendekat, membuka tali yang menutup mulut Anna. "Baiklah, kau bisa merengek dan berteriak sekarang. Karena tidak akan ada orang yang akan datang menjemputmu."

Maria berdiam sejenak, memfokuskan pendengaran. "Bahkan suara peluru pun sudah tidak ada lagi. Bukankah itu berarti mereka sudah mati karena saling membunuh?"

Anna menangis histeris, tetapi berusaha tidak mengeluarkan suara. "Bunuh ...."

"Apa?"

"Bunuh saja aku ...."

Maria terkekeh. "Untuk apa aku mengikatmu di sini jika aku tidak bermain-main dahulu dengan dirimu?" Maria mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku gaunnya. Ia menunjukkan pisau tersebut di depan mata Anna dan menunjukkan betapa tajamnya pisau tersebut.

"Lihat ini, Anna." Maria hanya menggores lengannya dengan ujung pisau tersebut dan lengannya langsung berdarah. "Ini sangat tajam. Hanya dengan menempelkan ujungnya sudah membuat lenganku berdarah." Maria mengusap perlahan lengannya yang berdarah, lalu menjilat darahnya sendiri.

Ia menarik tangan Anna, memaksa tangannya untuk menunjukkan jarinya yang lentik. "Cantik sekali, tetapi lebih cantik jika aku potong saja jari ini."

Anna berteriak histeris hingga suaranya hampir habis. Jari-jari tangannya dipotong dengan cepat oleh Maria. Darah bercucuran, membuat genangan darah di atas tanah. Maria kini mencekik Anna agar wajahnya sejajar dengannya. Ujung pisau tesebut kini menggores sudut bibirnya sampai dekat telinga. Maria melakukannya di kedua sudut bibir Anna.

Lalu ia sedikit menyingkirkan tali yang mengikat area perut Anna, lalu menggoreskan ujung pisau hingga darah bercucuran.

Anna terus berteriak, mengharapkan sebuah pertolongan ke orang-orang di desa walau mereka sudah mati.

"Berbahagialah dengan Nikolov di neraka, Anna." Pisau itu menancap tenggorokannya.

𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang