31 - Tolong Panggil Aku Sebagai Marielle

57 8 0
                                    

JARUM jam pada menara terus bergerak, menunjukkan bahwa waktu telah memasuki malam hari. Toko-toko sudah tutup, hanya sedikit orang yang berlalu-lalang. Angin sejuk menerpa tubuhnya, surainya yang dibiarkan terurai begitu saja terbang mengikuti arah angin. Ia menyandarkan tubuhnya pada sisi jembatan, melihat langit malam hari.

Lama sekali perbincangan mereka, sudah berjalan beberapa jam sampai pada akhirnya Volkov berhenti menceritakan semua masa lalunya. Maria tersenyum tipis, melirik Volkov yang berada di sampingnya.

"Kisahmu menarik. Volkov, apakah kau sadar dengan satu hal?" tanya Maria. Volkov menggelengkan kepalanya, menatap Maria dengan kebingungan. "Berikan padaku pita yang kau dapatkan."

Volkov memasukkan tangannya ke dalam saku, lalu memberikan pita dari sebuah gaun kepada Maria. Maria mensejajarkan pita tersebut pada gaunnya. "Apakah mirip?"

Volkov menatap Maria dengan pupilnya yang mengecil, ia berkedip beberapa kali. Volkov berjalan mendekat, melihat dengan jelas pita dan gaun Maria. Persis sekali dengan gaun perempuan yang bertemu dengannya di Sirkus Manusia.

"K-kau ... kau yang menyuruhku untuk kabur kala itu? Di Sirkus Manusia?!"

Maria mengangguk. "Pada awalnya, aku tidak tahu jika kau adalah laki-laki yang kubantu saat dulu. Namun, berdasarkan masa lalumu yang kau ceritakan, aku yakin kau adalah orangnya."

Volkov tersenyum tipis, ia menatap langit. Tak sadar ia terkekeh kecil. "Terima kasih. Berkat dirimu, setidaknya aku bertemu dengan Adonis." Volkov ikut menyandarkan tubuhnya pada sisi jembatan. "Lalu, bisakah kau menceritakan sedikit tentang kehidupanmu? Saat bersama ayah kandungku saja—Antonio."

Maria menunduk, mengingat-ingat kenangan masa lalunya. Namun, ada suatu perasaan aneh pada dirinya. Setiap kali ia menatap Volkov, bayang-bayang tentang Alfred muncul di benaknya. Wajah mereka begitu mirip, intonasi suaranya membuatnya merasa aman. Maria ingin meganggap Volkov sebagai Alfred.

"Antonio, ya .... Aku tidak sempurna karena tidak bisa bertarung. Namun, aku berakhir diadopsi oleh pembunuh berantai. Perihal Antonio, ia sangatlah menyebalkan. Waktu tidur, porsi makan, cara berpakaian, ilmu pengetahuan, tata cara mandi, semua diatur. Tidak ada waktu untuk bernapas dengan tenang. Kita hidup penuh dengan kesempurnaan."

"Tunggu—pembunuh berantai?"

Maria mengangguk. "Vincent Winston. Sejak saat itu pandanganku terhadap kehidupan berubah."

"Berubah semacam apa?"

Maria terdiam sejenak. Ia memikirkan apa yang baru saja ia ceritakan. Mulai dari sini, Maria justru menganggap Volkov sebagai Alfred yang dahulu menjadi tempat Maria bercerita. 

"Bahwa manusia akan menemui kematian entah dengan cara apa. Lantas untuk apa membiarkan manusia untuk tetap hidup jika mereka lahir untuk mati dan hidup untuk mati. Jalan terakhir dari kehidupan adalah kematian."

Volkov menoleh. "Apa kau tahu jika dirimu juga manusia? Apakah kau akan menganggap dirimu sebagai manusia lain yang kau lihat?"

Maria terdiam sejenak, ia menunduk. Pikirannya perlahan-lahan mulai terasa sedikit kalut, alisnya berkerut. "Entahlah."

"Tindakan apa saja yang telah kau lakukan? Aku yakin kau bukan orang biasa."

"Banyak hal yang telah aku lakukan, aku sudah berkelana sangat jauh tentang sisi lain dari kehidupan. Bahkan aku sudah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan. Aku tahu itu adalah hal yang bertentangan sekali dengan pandanganku, tetapi ... entahlah, semua sudah terjadi."

"Apakah kau seorang nihilisme?" tanya Volkov tiba-tiba.

Maria menoleh, menatap Volkov penuh dengan kebingungan. "Nihilisme?" Maria menatap langit, memikirkan pernyataan Volkov kepada dirinya. "Entah. Aku tidak peduli dengan filosofi."

"Ucapanmu memang cukup benar, mungkin semua yang kita lakukan adalah untuk bertemu kembali pada kematian. Namun, aku dapat menyimpulkan bahwa kau bahkan sudah mati sebelum matamu tertutup dan mengembuskan napas terakhir, itulah tindakan terkejammu."

Netranya membulat, Maria menatap Volkov dengan alisnya yang menyatu.

"Apa kau sebenarnya sudah mati?"

Maria meringis kesal, ia mendecih. "Sudahi perbincangan ini, Volkov. Kau bukanlah siapa-siapa."

"Aku akan menjadi seseorang untukmu. Tolonglah, anggap ini sebagai balas budiku karena kau sudah menyadarkanku untuk kabur dari Sirkus Manusia. Aku tidak memiliki siapa pun selain anak-anak Rumah 413."

"Hah? Anak-anak panti asuhan masih bekerja?"

Volkov mengangguk. "Ya, tetapi aku yang mengendalikannya. Sejak hilangnya ayahku entah ke mana kala itu, Rumah 413 tidak ada yang mengaturnya, semua berantakan. Aku pergi ke sana, dan menemukan banyak sekali anak-anak yang kelaparan. Rumah 413 sebenarnya sudah tak ada lagi, sudah aku ganti."

"Aku membawa mereka ke tempat yang baru dengan cara didik yang berbeda. Aku mengubah mereka untuk merasakan kebebasan setelah terkekang oleh paksaan ayahku untuk mengharuskan menjadi sempurna. Nama panti tersebut Kinderven 550," lanjut Volkov. 

Volkov menopang dagunya dengan tangan kanannya. "Jika kau ingin ke sana, akan kuantarkan."

"Pantas saja, tak ada lagi penerimaan 'barang' dari Rumah 413 setelah aku membunuh Antonio. Terlebih lagi, Heimvo tak lagi menerima seorang remaja atau anak kecil. Mayoritas yang dijual hanyalah barang ilegal."

"Tetapi kau ingin ke Kinderven 550?"

Maria menatap langit, membayangkan puluhan anak-anak di sana. Perlahan-lahan, ia mengingat anaknya sendiri, membayangkan semua yang pernah ia lakukan. Maria bertarung dengan pikirannya sendiri, membayangkan puluhan anak-anak yang akanmenyambutnya dengan baik, dan tindakan yang pernah ia lakukan.

Tanpa sadar, buliran bening membasahi wajahnya, netranya berkaca-kaca. "Ah, sial."

Volkov menatap Maria cukup lama. Sebelah tangannya terjulur untuk menyelipkan beberapa helaian surai yang menutupi wajah Maria ke belakang telinganya. "Kau menangis?"

Maria menepis pelan tangan Volkov. "Jangan sentuh aku."

"Hei, Bodoh. Aku bertanya baik-baik." Volkov menahan kedua tangan Maria, membuatnya menampilkan wajahnya berhadapan dengan Volkov. 

Wajah Volkov benar-benar tidak asing bagi Maria. Surai hitam dengan netra biru itu sangat mirip dengan seseorang—Alfred. Alisnya menyatu, hati dan pikirannya saling bertarung, mencoba mengusir perasaan aneh. Maria memang terlihat tidak mencintai Alfred, tetapi secara logika ia tidak akan melakukan tindakan yang membuatnya memiliki anak jika ia tidak mencintainya.

Napasnya tersengal-sengal, oksigen terasa sangat berat. "Aku seperti tidak mengenali diriku sendiri. Bahkan, apa tujuanku selama ini?"

"Kau bertarung dengan pikiranmu sendiri, lalu pandangan hidupmu adalah perspektifmu terhadap orang lain. Namun, kau dan mereka tidaklah jauh berbeda. Kami sama-sama manusia."

Volkov mendekatkan wajahnya. "Aku tanyakan pertanyaanku sekali lagi. Apakah kau sudah mati?"

Maria terdiam sejenak, perlahan-lahan genggaman tangan Volkov melepas kedua tangannya. "Mungkin. Jika aku mendengarkan perkataan kembaranku kala itu, mungkin aku sedang bersama keluargaku."

"Dan di saat itulah kau sudah mati ketika kau mengabaikan ucapan kembaranmu."

Maria terkekeh kecil. "Volkov, kau ini seorang penasihat, ya?"

Volkov tertawa, menepuk pundak Maria perlahan. "Aneh, sudah pasti bukan. Oh, ya, siapa namamu?"

"Marielle."

"Bukankah tadi kau dipanggil sebagai Marie Vienna?"

Maria menggeleng. "Tolong panggil aku sebagai Marielle."

Karena aku ingin merasakan Alfred pada dirimu, tolong panggil aku sebagai Marielle.

𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang