18 - Penjual Balon dan Roti Daging

88 22 26
                                    

LANGKAH kaki kuda berlarian menuju dermaga. Napasnya terengah-engah setelah berlarian mencari kudanya yang ia tinggalkan begitu saja. Kelopak matanya berat, tubuhnya ingin berbaring di ranjang yang nyaman. Seharian penuh ia belum tidur, matahari bahkan sudah muncul dari ufuk timur.

Sinar matahari menyinarinya, keringat bercucuran di tubuhnya. Netranya bolak-balik menatap jalan dan peta, berharap jika ia akan sampai dengan segera. Waktu terus berjalan, sebuah tempat yang sesuai pada peta kini muncul di hadapannya. Dermaga milik Celestial bersama kapal di sana.

Maria turun dari kuda, ia mendongakkan kepalanya untuk melihat dengan jelas kapal tersebut. Cukup besar.

Ia mengembuskan napasnya. "Baiklah. Sekarang, bagaimana cara aku berlayar dengan kapal ini?" Maria membuka tas selempangnya, mengambil peta menuju pulau milik Celestial. Namun, sesuatu terjatuh dari balik peta tersebut saat lipatan peta dibuka. Maria mengambilnya, itu sebuah buku.

"Panduan mengendarai kapal?" Maria membaca buku tersebut. Semua nama bagian kapal dan panduan cara mengendarainya dijelaskan dengan jelas. Maria menggarukkan kepalanya selama ia membacanya, mencoba memahaminya sebelum waktunya habis.

"Ah, keparat. Tidak ada yang masuk ke otakku." Maria menaruh buku itu di tanah, membacanya sambil duduk dengan fokus. Ia berulang kali melihat ke peta dan buku, memahami apa yang ia ketahui saat ini.

***

Entah sudah berapa kali ia muntah. Berada di tengah laut tanpa ujung adalah pengalaman pertama kalinya. Berlayar menuju pulau milik Celestial, pergi meninggalkan Celestial tanpa menunggu mereka sesuai perintah Louis. Lantai penuh dengan muntahannya, tetapi tak dapat membersihkannya akibat otak yang perlu fokus pada kapal besar yang ia kendarai. Bermodalkan buku panduan—walau hampir saja nyawanya terancam, ia masih terus mencoba.

Peta menuju pulau milik Celestial ditaruh di dekatnya, berulang kali menatap peta agar tidak salah jalan. Pada lautan tanpa ujung ini, ia perlu memastikan semua yang ia kendalikan sesuai dengan arah yang ingin didatangi.

Entah sudah berapa jam ia berlayar, mungkin akan berjalan seharian. Perutnya kosong, tetapi ia sudah terbiasa seharian tanpa makanan. Kelopak mata yang berat hampir terpejam, kepalanya yang pusing, mabuk laut, dan perut kosong. Maria bisa pingsan saat itu juga jika ia tidak mencoba bertahan.

Ketika matahari yang baru saja muncul di ufuk Timur, waktu terus berjalan hingga memperlihatkan senja. Bahkan saat ini matahari sudah terbenam, ia belum sampai juga. Berpikir berkali-kali bahwa mungkin saja ia tersesat, salah arah, dan benar-benar berada di laut tanpa ujung.

Dugaannya salah. Pulau kecil dengan pepohonan rimbun yang menjulang tinggi. Di balik hijaunya dedaunan pada pepohonan itu, terdapat bangunan besar yang penampilannya tidak terawat. Bola matanya membulat, berulang kali melihat ke peta dan pulau itu, lalu senyumannya terukir dengan jelas di wajahnya.

Seakan-akan rasa mual, lapar, ngantuk, dan pusing telah sirna. Maria melompat dengan senang—ia hampir terjatuh. Melihat ke arah bawah, ia menginjak muntahannya sendiri.

Astaga, Marielle. Kau menjijikan.

***

Berjalan pada pepohonan rimbun yang hampir menutupi langit. Sinar matahari yang mulai terbenam cukup membantu pencahayaan melalui celah-celah ranting pohon. Hawa di pulau ini begitu dingin. Ketika kakinya sudah menginjakkan pulau ini rasanya ia kembali menjadi manusia setelah mabuk laut.

Bangunan besar itu semakin dekat dengannya. Maria telah berdiri tepat di depan pintu besar bangunan itu. Ia mendorong pintu dengan perlahan, suara melengking dari pintu tak terawat itu menusuk telinga. Maria masuk dengan mudah, pintu itu tidak dikunci sama sekali. Saat pintu dibuka, pemandangan di dalam cukup mengejutkannya.

Shotgun dan revolver berjumlah cukup banyak digantung di dinding. Bangunan ini benar-benar kosong, hanya satu ruangan lebar berisikan senjata api yang digantung di dinding, meja berisikan peledak kecil bersama remotnya, peluru, gerobak berukuran bungkus kotak revolver, dan kain besar di atas gerobak.

Ini sangat membantu aksi Maria selanjutnya.

Maria mengambil gerobak tersebut, mendorongnya dan mengambil semua senjata. Shotgun dan revolver dimasukkan ke dalam gerobak, bersama peledak yang ia masukkan ke ransel. Semua barang yang ada di bangunan ini ia ambil, berpikir jika kemungkinan barang yang dianggap tidak berguna akan digunakan di suatu saat.

Maria mendorong gerobak yang kini ditutupi kain, berjalan keluar meninggalkan bangunan itu. Kembali berjalan ke kapal, lalu melihat kudanya yang berdiri di haluan kapal dari kejauhan. Maria mengembuskan napasnya, terkekeh kecil dengan kuda itu yang tidak merepotkan sama sekali.

Dia tidak merepotkan seperti milik pemilik sebelumnya.

Maria mendorong gerobak itu hingga masuk ke dalam kapal. Menaruh barang-barangnya di sebuah meja, kembali ke ruang nakhoda untuk berlayar menuju Desa Morohem.

***

Kota penuh dengan suara bising, lentera dinyalakan selama gelapnya malam. Bulan terbit setelah matahari terbenam, menampilkan pemandangan indah bersama bintang yang terlukis di langit. Penampilannya yang cukup nyentrik dan aneh mengundang atensi para warga di perkotaan ini.

Kota Moonhaven arah selatan, penuh dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Toko yang masih buka, orang-orang yang sedang berbelanja, dan orang-orang yang baru saja kembali dari kerjanya.

Tentu saja menjadi pusat perhatian. Ia menggunakan tas selempang yang terlihat sekali diisi dengan penuh, gerobak yang ditutupi kain, dan wajah lelahnya. Orang-orang mencibirnya, tetapi Maria mengabaikannya walau ia mendengar dengan jelas.

Tangannya menggenggam erat peta arah Desa Morohem. Saat melihat ke sekeliling, ia mendapati pria tua yang menjual balon biru dan roti daging. Terbesit di pikirannya ide gila. Maria berjalan mendekati pria itu.

"Selamat malam, Tuan. Apakah Tuan mengetahui daerah ini?" Maria ingin menunjukkan petanya, tetapi pria tua itu memotong tindakannya.

"Jangan memanggilku seperti itu, Anak Muda. Namaku Keith." Keith membungkukkan tubuhnya sedikit. Penampilannya sangat sederhana—seperti orang desa. Wajah tuanya selalu tersenyum, rambutnya juga memutih.

"Ah, baiklah, Pak Keith. Apakah Pak Keith mengetahui Desa Morohem?" Maria memperlihatkan peta kepada Keith, menunjuk ke arah Desa Morohem.

Netra Keith berbinar. "Ah, tentu saja aku tahu, Anak Muda. Aku tinggal di sana. Apakah kau pendatang baru? Atau memiliki keluarga di sana?"

Maria menggelengkan kepala. "Tidak, aku hanya seseorang yang senang berpergian. Aku adalah seorang pelukis," ujar Maria. Keith kini melihat ke gerobak yang dibawa Maria.

"Itu isinya alat lukismu?" tanya Keith. Maria mengangguk. Wajah Keith semakin cerah, senyuman lebar terlukis di wajahnya. "Dengan senang hati aku akan mengantarkanmu ke sana."

Maria terkekeh kecil. "Astaga, Pak Keith baik sekali. Baiklah, aku akan ikut denganmu."

Keith menyodorkan roti daging miliknya. "Ini, untukmu. Kau pasti susah payah pergi ke sini, bukan? Wajahmu juga terlihat lelah sekali. Ini roti daging untukmu, makanlah. Anggap saja ini bentuk perkenalan kita." Mata Keith menyipit selama sudut bibirnya terus terangkat.

"Eh? Bentar, akan aku bayar—"

"Tidak perlu, Anak Muda."

Suara perut keroncongan terdengar. Tidak ada alasan lagi bagi Maria untuk menolak pemberian Keith.

Perut sialan.

𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang