BAGIAN 22 : ALIN

87 12 34
                                    

Dua hari sebelum menculik kakak tiri Ellie. Indira keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam gang yang sempit.

Lalu, ia berbelok ke kiri, matanya mengerjap ketika melihat banyak pemuda yang sedang bermain kartu di sebuah pos penjaga di kampung tersebut.

"Wih ada cewek cantik!" seru salah satu pemuda di sana.

Indira mengabaikan nya dan memilih berjalan terus hingga sampai di depan rumah sederhana. Rumah paling pojok.

Disaat Indira ingin kembali melangkah masuk ke teras rumah yang tidak ada pagarnya itu, ia mengurungkan niatnya ketika pintu rumah tersebut terbuka kasar dan seorang wanita terdorong keluar.

"ISTRI SIALAN! LO BILANG MAU KELUAR DARI PEKERJAAN LO ITU?! KALO LO KELUAR! TERUS GUE MAKANNYA GIMANA, SIALAN?!" teriak pria bertubuh jangkung dan sedikit berotot. Kedua matanya melotot marah.

"HARUSNYA LO YANG KERJA!" Kali ini seorang gadis yang keluar dari rumah tersebut dan melindungi wanita yang tadi di dorong.

"HAH?! SIAPA LO NYURUH-NYURUH GUE, SIALAN?!"

Bugh!

"HARUSNYA LO GAK USAH SEKOLAH! BIAR UANGNYA ITU BUAT GUE AJ—" Pria itu langsung menghentikan tendangannya dan mundur ketika melihat Indira yang dari tadi hanya memerhatikan.

"Siapa lo?!" galaknya.

Indira tersenyum. Gadis itu kembali melangkahkan kakinya hingga menginjak teras rumah sederhana tersebut.

"Saya bos nya Alin, selama beberapa hari ini saya melihat memar dalam tubuhnya dan sesekali saya melihat Alin menangis, jadi saya ingin mengeceknya langsung ke rumahnya. Sekarang saya tau kenapa Alin ... terluka." Indira berjongkok dan membelai pipi Alin.

"Bos?" Heran pria itu.

"Ya, dan saya tidak suka jika ada yang menyakiti karyawan saya," ucap Indira dengan dingin. Tapi, senyumnya sama sekali tidak luntur.

Alin terpaku, aura Indira memang selalu berhasil membuat dirinya kagum.

"Gu-gue Bapaknya! Jadi bukan urusan lo!"

"Sejak kapan kekerasan itu diperbolehkan hanya karena anda Ayahnya?" Indira mendongak, menatap dingin pria itu.

Hening. Suasana tiba-tiba terasa sesak.

"Ck, mengganggu!" Pria itu pun berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.

"A-anda bukan bos Alin, bukan? Soalnya ... Alin tidak bekerja di manapun." Ibu Alin memegang bahunya yang terasa nyeri. Ia menatap Indira dengan teduh.

"Iya, saya bukan bos nya. Tadi hanya pura-pura supaya pria itu segan pada saya." Indira berdiri dan membantu Ibu Alin berdiri.

"Terima kasih," Ibu Alin tersenyum hangat. Indira hanya mengangguk.

"L-lo ... ngapain ke sini?" tanya Alin gugup. Ia menatap ke arah lain. Malu, sangat malu harus memperlihatkan kelemahannya pada sosok yang ia kagumi.

"Hm ... mau ngomong sesuatu, tapi kayaknya nanti aja." Indira tersenyum dan memberikan bingkisan yang ia pegang ke Ibu Alin.

"Kalo gitu saya pamit ya." Indira menunduk dan berbalik. Berjalan menjauh dari rumah Alin yang kelihatan sedikit suram itu.

"Sekali lagi terima kasih ya, Nak. Hati-hati!" Ibu Alin melambaikan tangannya. Sedangkan Alin hanya diam.

"Alin, kamu gak mau anterin temanmu sampai depan gang?"

"Gak mau!" Alin berbalik, masuk ke dalam rumah. Sial! Kenapa harus Indira?

SHE IS A QUEEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang