"Apa … mental lo kuat menghadapi rintangan di dunia sana?”
Deg.
Indira membuka matanya dengan napas sedikit tidak teratur. Tangan ia terkepal, seharusnya ia tidak down seperti ini. Padahal ia sudah yakin bisa melewatinya, tetapi ... ia ...merasa putus asa.
Indira mencengkram selimut nya dan memejamkan matanya. Bod— tunggu, selimut? Spontan ia membuka matanya, melotot. Apa sekarang ia berada di kamar Bimo?
"Kenapa, sayang?" Suara Alan. Indira langsung bangun dari tidur nya dan menatap Alan yang baru masuk ke dalam kamarnya. Eh? Ini ... di kamar nya.
Aneh, bukankah Bimo membawanya?
Tuk
"Jangan berpikir terlalu keras dulu sekarang, Indira." Alan mengetuk keningnya dengan jari telunjuknya dan tersenyum hangat.
Pipi Indira merona. Ia diam tetapi tatapan matanya memerhatikan gerak-gerik Alan yang menaruh meja lipat di depannya, tepatnya di atas ranjangnya. Lalu, laki-laki dengan pakaian kasual itu menaruh nampan yang di atasnya ada makanan, minuman dan obat.
"Aku tidak sakit, Alan. Tidak perlu ada ob—"
"Ssttt... ini vitamin, kamu sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari jadi—"
"APA?! Ti-tiga hari?" Alan duduk di seberang meja, tepat di hadapan gadisnya. "Benar, jadi tubuh kamu sekarang lemah, dengan minum vitamin, maka akan membaik." Alan dengan telaten menyendok bubur dan menyodorkannya pada Indira yang terkejut.
"Makan!" Alan tersenyum lembut.
Ah, senyuman itu ... Indira menunduk sejenak dan perlahan tersenyum. Lalu, ia menatap Alan dengan lembut juga lantas membuka mulutnya. Membiarkan Alan menyuapinya dan memanjakannya sekarang. Karena ... Indira merindukan semua itu.
“Kau menyukainya?”
“Ah, hm.” Indira mengangguk.
“Apa tidak keasinan?” tanya Alan khawatir.
Indira menggeleng. “Tidak.”
“Syukurlah.” Alan tersenyum lega. Ia kembali menyuapi Indira yang hanya diam sembari menatap dirinya. Sebenarnya laki-laki itu gugup ditatap seperti itu, tetapi ia harus bertahan. Bagaimana pun akhirnya Indira mau makan. Jadi, ia harus kuat menyuapi Indira.
“Alan,” panggil Indira.
“Hm?”
Indira memiringkan kepalanya. “Kenapa telingamu memerah?” Spontan seluruh wajah Alan memerah. Gerakan laki-laki itu terhenti. Tiba-tiba ia jadi kaku. Indira yang mulai paham itu tertawa. “Kamu sangat menggemaskan, Elang.”
Alan terpana. “Sudah lama sekali kamu tidak memanggilku dengan sebutan itu, Queen.” Mereka berdua saling tatap. Saling melempar senyuman dengan pipi merona. Indira berdehem. “Apa aku boleh memanggilmu Elang jika hanya ada kita berdua?” tanyanya.
Alan tersenyum. “Apapun itu jika kamu menyukainya, boleh, Indira.”
“Hm … berarti jika aku menyukai orang la—”
“Tidak boleh,” potong Alan dengan cepat.
Indira memegang dagunya sendiri dan menatap Alan pura-pura polos, “Tapi kamu ta—”
“Kecuali itu, pokoknya tidak boleh.”
Indira tersenyum menggoda. “Tentu saja, kamu bahkan tidak mau aku dibawa oleh orang lain, sampai kamu berteriak sekencang itu.”
Alan membeku. “Ka-kamu mendengarnya?”
“Sebenarnya saat itu aku masih sadar, tetapi aku hanya bisa mendengar, tidak bisa membuka mata ataupun menggerakkan tubuhku, jadi aku tahu kamu berteriak—” Indira mengerjapkan matanya ketika Alan menutup mulutnya dengan jemarinya yang besar itu. “Diam sayang, jangan membuatku melewati batas,” bisik Alan. Tubuh laki-laki itu maju sehingga wajah ia hanya berjarak lima senti di depan wajah Indira.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHE IS A QUEEN (END)
Подростковая литератураGenre : Transmigrasi, Regresi, Perjodohan, Romance, Action, Angst dan Persahabatan. Ini cerita tentang gadis yang masuk ke dalam dunia novel dan waktu terus berulang ketika ia meninggal, setiap waktu terulang, ia akan lupa ingatan dan jika mengingat...