31

447 39 9
                                    

"Beatrice bilang kau bekerja." Hugo menurunkan sepanci ramyeon. Menyebalkan sekali. Dia membuat makanan khas korea tersebut, karena berpikir aku orang Asia seperti Kim Hana. Padahal Asia terdiri dari banyak negara.

"Cafe milik teman Axe. Mengejutkan sekali. Kau berkeliaran dengan kelompok Demon lagi."

"Itu bukan urusanmu."

"Makanlah."

"Aku sudah kenyang." Aku membasuh tubuhku di bawah guyuran shower. Terlintas tatapan redup Hugo. Mungkin dia menyesal, tetapi apa pentingnya? Aku terlanjur membencinya.

Hugo belum memakan ramyeon buatannya. Ia malah menata sekotak pizza di meja kopi dan juga dua kaleng bir.

"Besok aku akan mempublikasikan penelitianku di auditorium Lympus. Kemarin aku mengajakmu, jadi ayo pergi besok."

"Aku mau beristirahat."

"Tidak bisakah kita berbaikan?"

"Tidak." Aku terang-terangan mengatakannya sambil memilih pakaian. Dua hari yang lalu aku melihat paperbag celine dari Hugo, tetapi aku belum membukanya. Sekarang pakaian itu telah masuk ke dalam lemariku. Tergantung rapi dengan aroma khas pakaian baru yang menyenangkan.

"Kita harus berbicara."

"Tidak ada yang harus kita bicarakan."

Aku menyelesaikan berpakaian, lalu berbaring. Hari ini pun cafe ramai hingga pukul dua belas malam lewat. Aku pikir Hugo sudah tertidur seperti biasa atau justru berkeliaran. Tidak menyangka dia masih terjaga, sehingga kami harus berbicara.

"Jadi, kapan kau mau berbicara? Aku pikir aku sudah memberikanmu cukup waktu. Tiga minggu bukan waktu yang sedikit."

"Justru itu. Apakah kau tidak menyadarinya? Betapa aku membencimu sehingga tiga minggu kita telah menjadi orang yang berbeda. Tenanglah, ketika aku memiliki cukup uang, aku akan pindah."

"Kau keterlaluan. Jelas-jelas kau masih bisa berbicara dengan Kaigan, bahkan setelah dia memijak harga dirimu. Mengapa kau memperlakukan aku lebih kejam?"

"Karena kau lebih berharga daripadanya, Walter. Itulah mengapa aku sangat kecewa dan membencimu setengah mati."

"Apa yang kau inginkan?" Hugo menghampiriku. "Apa kau ingin aku bersujud di kakimu dan mengatakan maaf, begitu?"

"Tidak ada yang perlu kau lakukan. Aku tidak tertarik berhubungan denganmu lagi."

"Oke, aku akan memberikanmu waktu seminggu lagi. Setelahnya kita harus berbaikan."

Aku mengabaikannya. Pada akhirnya dia mematikan lampu, membiarkan cahaya televisi saja yang menemaninya untuk menyantap ramyeon dan bir itu sendirian.

***

"Bukan salahmu jika dia tidak mau memaafkan. Lagipula apa pentingnya kata maaf dari perempuan itu? Jangan bilang kau mulai menyukainya!"

"Aku menyukainya. Aku sudah mengatakannya padamu. Jadi sebaiknya kau pergi sekarang dan jangan membuat masalah."

"Kau tidak menyukainya. Kau hanya merasa bersalah. Apa kau tidak bisa membedakannya?"

"Aku tahu perasaanku, Harin. Pergilah sebelum dia bangun."

Aku mendudukkan tubuh. "Aku sudah bangun."

Tadinya aku hanya samar-samar mendengar obrolan mereka. Aku menimbang-nimbang apakah harus bangun atau bagaimana. Pada akhirnya aku menunjukkan diri. Lebih baik begitu daripada aku mendengarkan obrolan mereka.

Desire |18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang