"Kau pembunuh!" Winwin menatap tajam sang anak yang terduduk lemah di lantai.
Jaemin mematung, menatap ibunya dengan penuh tanda tanya. Ia adalah pembunuh? Tetapi membunuh siapa? Jaemin benar-benar dibuat kebingungan.
"A-apa?" masih dengan raut bingungnya, Jaemin bertanya gagap.
Winwin mendekat, berdiri tepat di hadapan Jaemin dengan mata memerah, menyiratkan kebencian serta kesedihan yang teramat dalam. Ia tunjuk wajah yang berada dibawah.
"KAU PEMBUNUH, SIALAN!" tanpa belas kasihan, Winwin tarik lengan Jaemin dengan kasar lalu berjalan cepat ke arah pintu keluar.
"B-bunda, jangan... Nana mohon jangan, Bunda..." Jaemin memberontak, membuat cengkraman pada lengannya menguat.
"Keluar kau dari rumahku! Dasar pembunuh!" Winwin menghempaskan tubuh Jaemin ke teras rumah, lalu ia merunduk untuk mencengkram kedua pipi putranya.
Jaemin terpaksa menengadah karena cengkraman pada pipinya terlalu kuat, ia tatap sorot lelaki cantik di depannya dengan air mata yang luruh semakin deras.
"Nana bukan pembunuh, Bunda... hiks... apa yang Bunda katakan itu tidak benar." Si manis menggeleng ribut, menyanggah tuduhan tersebut.
"Kau sudah membunuh seseorang yang sangat berarti di hidup saya, Jaemin! Jangan berpura-pura tidak mengingat apapun!" air mata Winwin juga semakin meluruh dengan sorot marah, benci, kecewa serta kesedihan yang amat kentara.
"Nana nggak pernah ngelakuin itu!" bantah Jaemin dengan kepala yang tiba-tiba terasa sangat pening.
"Jangan kau membodohiku dengan alasan ingatanmu yang hilang itu, sialan! Kejadian itu sudah sangat lama, kau... pasti ingat semuanya dan hanya berpura-pura jika ingatanmu belum kembali!"
Yuta serta kedua anaknya tidak berani mendekat, mereka hanya melihat dari belakang tanpa ingin mengganggu luapan emosi sang bunda yang tertanam sejak lama.
"Seharusnya... kau lah yang pergi, anak sialan! Mengapa harus orang terkasihku yang pergi! Harusnya kau, Jaemin!"
Jaemin semakin dibuat bingung serta kepalanya yang bertambah pening, lantas semua bayangan-bayangan dalam mimpinya kembali terulang satu-persatu bak kaset rusak.
"N-nana... hilang ingatan?" gumamnya lirih.
Winwin yang menyadari suatu hal lantas terdiam, ternyata ingatan anaknya belum juga kembali setelah kejadian tujuh tahun lalu.
Lantas tubuh Winwin kembali menegak, melepas cengkramannya pada pipi Jaemin lalu ia melangkah mundur dengan sempoyongan, Xiaojun yang melihat itu lantas menahan tubuh sang bunda agar tidak jatuh.
Menatap Jaemin dengan tatapan kosong, Winwin kembali berucap. "Kau... jangan pernah lagi kau muncul di hadapanku. Pergi!"
Jaemin tersentak, lantas ia merangkak ke arah Winwin lalu memeluk kedua kakinya erat. "Nggak mau! Bunda... jangan usir Nana... hiks... Nana mohon, jangan ngomong kayak gitu, Nana nggak mau..."
Winwin menepis tangan Jaemin yang memeluk kedua kakinya dengan kasar, membuat si manis kembali terhempas ke belakang.
"Saya tidak ingin melihat wajah pembunuh sepertimu!" setelahnya, Winwin masuk ke dalam rumah lalu pergi menuju kamar.
Yuta memandang kepergian istrinya dengan tatapan nanar, lalu beralih menatap Jaemin yang masih menangis dengan wajah tertunduk dalam.
"Dejun, Taro, masuk." Penuh penekanan, Yuta memerintah kepada kedua anaknya untuk masuk.
Xiaojun menatap iba ke arah adik keduanya yang kini menunduk dengan punggung yang bergetar hebat, merasa tak tega, namun ia juga bingung harus berbuat apa. Lantas Xiaojun segera mematuhi sang ayah, masuk dengan membawa Shotaro bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗖𝗼𝘃𝗲𝗿 𝘁𝗵𝗲 𝘄𝗼𝘂𝗻𝗱 || ɴᴏᴍɪɴ ||
Teen FictionKisah seorang pemuda manis yang selalu ceria dan selalu menunjukkan kebahagiaannya kepada semua orang. Namun, dibalik wajah ceria tersebut ternyata menyimpan banyak luka dan penderitaan yang selalu ia rasakan. Ayahnya yang selalu membeda bedakan dir...