kedua lelaki manis itu tengah duduk di sebuah caffe guna menyamankan pembicaraan mereka. Jaemin, duduk dengan tatapan bingung ke arah sahabatnya.
"Lo mau ngomong apa, Chan?" Haechan sedikit tersentak tatkala Jaemin membuka pembicaraan.
Menghela napas pelan, Haechan lantas mendongak. "Na, maafin gue, ya? Gue udah kasar sama lo waktu itu."
"Nggak apa-apa, Chan. Udah dua minggu yang lalu juga, gue paham kok. Gue mau minta maaf juga sama lo karena waktu itu gue kedengerannya kayak ngebela Renjun, padahal maksud gue nggak kayak gitu." Ucap Jaemin.
Haechan mengangguk. "Iya, Na, gue paham kok. Tapi, gue boleh cerita sama lo nggak? Maaf, dua minggu belakangan ini gue selalu jauhin lo, tapi sekarang gue malah tiba-tiba ngajak lo ketemu dan mau cerita. Nggak tau diri banget ya gue."
Lelaki cantik itu terkekeh pelan. "Apaan dah, Chan. Kayak sama siapa aja lo."
Haechan tersenyum canggung. "Grandma udah nggak ada, Na." Ucapnya lirih.
Jaemin yang tengah menyeruput kopinya lantas membulatkan matanya kaget. "Maksud lo?"
Lelaki yang tengah menunduk itu lantas menganggukkan kepalanya. "Gue pernah bilang sama lo, 'kan? Daddy sama Mae udah nggak di sini, mereka butuh waktu bertahun-tahun buat pulang."
Jaemin mencoba mengingat ngingat perkataan Haechan, lalu setelahnya ia mengangguk cepat. "Iya, Chan, gue inget."
"Daddy sama Mae harus ke Chicago lagi, karena waktu kita pulang ke sini, ternyata keadaan Grandma makin parah dan akhirnya beliau meninggal. Daddy sama Mae langsung pergi lagi dan terpaksa tinggal di sana beberapa tahun buat ngurus perusahaan Grandpa sama Grandma." Lanjut Haechan.
"Haechan, maaf ..."
"Apaan dah? Hahaha. Kok jadi lo yang minta maaf? Nggak apa-apa lah, Na."
"Maaf, gue nggak tau. Kenapa lo nggak cerita sama gue dari awal?"
"Na, lo tau sendiri gue kayak gimana. Gue nggak cerita waktu itu karena gue masih shock banget ditambah lagi Mae sama Daddy harus pergi. Gue sedih banget." Haechan tersenyum getir.
Jaemin raih tangan sahabatnya guna menguatkan lelaki manis itu. "Nggak apa-apa, masih ada gue di sini, Chan. Gue bakal selalu temenin lo disaat lo dalam keadaan seneng bahkan terpuruk sekalipun."
Haechan tersenyum, mata bulatnya tampak memerah. "Makasih, Na. Gue nggak tau lagi harus gimana kalau nggak ada lo."
"Santai, gue seneng akhirnya lo mau cerita sama gue. Pantesan lo sensi banget beberapa minggu ini, ternyata karena itu, ya?" tanya Jaemin.
Haechan meminum kopi pesanannya sebelum mengangguk. "Iya, Na. Maaf karena lo yang harus jadi imbasnya. Gue nggak tau juga kenapa gue jadi pemarah kayak gitu. Gue juga nggak bermaksud mau diemin lo beberapa minggu ini."
"Gue pikir lo udah nggak mau lagi temenan sama gue." Ucap Jaemin cemberut.
"Enggak! Gue beneran nggak bermaksud kayak gitu tau, Na!" jawab Haechan panik.
Jaemin terkekeh kecil. "Iya, iya. Santai aja dong, panik banget lo."
"Ihh! Anjing lo."
"Nah, ini baru Haechan yang gue kenal."
Lantas keduanya tertawa setelah sekian lama saling diam tanpa mau berbicara kepada satu sama lain sedikitpun.
Tawa Haechan lantas reda tatkala matanya menangkap keberadaan seseorang yang sedang memperhatikan mereka dari arah luar caffe.
Jaemin menyadari keterdiaman Haechan. "Chan, kenapa?" tanyanya.
Kembali menoleh ke arah Jaemin, Haechan sedikit memajukan tubuhnya agar lebih leluasa berbicara dengan sahabatnya. "Na, beberapa minggu ini lo ngerasa kayak ada yang ngawasin lo gitu nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗖𝗼𝘃𝗲𝗿 𝘁𝗵𝗲 𝘄𝗼𝘂𝗻𝗱 || ɴᴏᴍɪɴ ||
Teen FictionKisah seorang pemuda manis yang selalu ceria dan selalu menunjukkan kebahagiaannya kepada semua orang. Namun, dibalik wajah ceria tersebut ternyata menyimpan banyak luka dan penderitaan yang selalu ia rasakan. Ayahnya yang selalu membeda bedakan dir...