PENEMUAN JAWABAN

46 17 106
                                    

HALLO SEMUANYA 👋👋👋☺️☺️☺️
NEW PART NIHHH
*
*
*
FYI PART INI MENGANDUNG BAWANG GUYSS😭😭😭
JADI SIAPIN TISU YA🥀🥀🥀
*
*
*
JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YA BIAR SEMANGAT NULISNYA💜💜💜
*
*
*

“Aku mau.”

Raya tersenyum puas. Akhirnya Mesha mau menuruti apa yang diinginkannya.

“Good. Besok hari Minggu. Kafe Claudia. Pukul 10 tepat. Jangan sampai terlambat.”

Mesha hanya bisa diam, meskipun ia tidak yakin bahwa apa yang dikatakannya akan benar-benar mempermudah segalanya. Yang pasti, Mesha tidak bisa melihat orang-orang yang menangis di depan sekolah itu. Ia tidak mau melibatkan orang lain dalam masalahnya, walaupun ia tidak tahu, mengapa masalah selalu menghampirinya.

Mesha mengahampiri Tara yang masih berdiri mematung sembari menatap sekolah yang tidak bisa dipijaknya lagi. Terlihat seragam Tara yang mulai kotor terkena debu yang dibawa angin.

“Kak,” panggil Mesha.
Tara menoleh, melihat Mesha di sampingnya.

“Kita beli es krim kesukaan kakak, yuk.” ajak Mesha.

Tara diam, mengalihkan pandangannya pada bangunan sekolah dan kembali menatap Mesha dan berkata, “A... Aku... Nggak... Bisa... Sekolah...  Lagi?”

Mesha memeluk Tara hangat, air matanya dengan mudah mengalir. Mesha merasa bersalah, ia merasa bahwa dirinyalah penyebab dari semua masalah ini.

“Maafin Ara kak.... Maaf... Maaf....” lirih Mesha yang tidak bisa menahan air matanya.

Tara melepaskan pelukannya. Ia melihat sang adik dengan isakan tangisnya. Tangan Tara bergerak, mengusap air mata yang keluar dari mata Mesha.

“A... Ara... Jangan... Nangis...” ucap Tara. “Se... Seharusnya... Yang... Nangis kan.... Kakak....” tambah Tara.
Mesha menghentikan tangisannya. Berusaha tersenyum walau pada kenyataannya sangat sulit dilakukan.

“Iya, ya... Seharusnya kan yang nangis kakak,” ujar Mesha tertawa kecil.
Tara mengangguk.

“Kakak jangan sedih ya, nggak lama, gurunya pasti akan pulang, dan kakak bisa sekolah lagi, ya...”

Tara mengangguk semangat. “Iya.”

“Kalau gitu, ayo kita makan es krim.”

*

Mesha dan  Tara menikmati es krim di pinggir jalan dan duduk di sebuah kursi panjang. Mesha melihat sang kakak yang sangat lahap menjilati es krim miliknya.

“Enak, Bang?” tanya Mesha yang selalu bergonta-ganti memanggil sang kakak dengan sebutan Bang atau Kakak.

“E... Enak. Rasa... Co... Coklat.”

Kondisi pagi ini lumayan lengah dari para pengendara yang biasanya memenuhi jalanan kota. Mungkin karena hari ini hari libur bagi para pekerja dan anak sekolah, sehingga mereka menghabiskan waktu di rumah masing-masing.

Mesha memandangi setiap sudut kota yang dilihatnya. Tidak ada yang istimewa dari kota ini, batinnya. Cuma ada jajaran tukang becak yang berharap penumpang, ada penjual es cendol yang mulai kelelahan karena termakan usia, dan juga air mancur di tengah jalan yang sudah tersendat-sendat.

Jika dipikir-pikir, jika harus memilih antara kota atau desa, maka Mesha lebih memilih desa. Di desa tidak ada yang namanya macet, pun tidak ada yang namanya persaingan. Yang ada cuma ketenangan. Sungguh kedamaian yang hanya bisa menjadi impian.

Bila HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang