2.Bad Couple

3.7K 373 38
                                    

2.Bad Couple

"Kamu mencintaiku?"

Aku bertanya tepat sebelum kami melangkah masuk ke dalam rumah. Dia berbisik pelan memberiku pertanyaan serupa.

"Bagaimana dengan kamu? Kamu mencintaiku?"

"Aku tau aku nggak bisa hidup tanpa kamu."

"Kalau begitu mau mati bersama?"

Kupukul lengannya keras sampai dia meringis dan mengusap lengannya. Radeva duduk di ruang tamu sedangkan aku memanggil mama yang pasti berada di ruang kerjanya. Wanita workaholic itu nggak pernah mau menyia-siakan harinya untuk rebahan di kasur. Enam dari tujuh harinya dihabiskan untuk bekerja remote, hari minggunya digunakan untuk olahraga dan perawatan. Maka nggak heran di usianya yang sudah 50 itu tubuhnya masih bugar dan wajahnya masih segar.

"Mamah," panggilku setelah mengetuk pintu. Aku membukanya. "Ada Radeva."

"Lalu?"

"Mama nggak bisa keluar sebentar?"

"Kalian sudah sering di rumah ini tanpa Mama."

"Mau aku buatkan teh?"

Wanita itu baru menoleh dan memberikan perhatian padaku. Dia diam sejenak, lalu beranjak dari kursinya yang megah dan meninggalkan ruang kerjanya untuk menemui Radeva. Aku memenuhi janji membuatkan tiga teh celup dan membawanya keluar.

"Jadi kenapa?" tanya mamaku tanpa basa basi.

"A—"

Radeva mencegah aku bicara, dan dengan penuh wibawa mengutarakan niatnya.

"Saya ingin menikahi Pramita."

Sejenak mamaku tidak bereaksi. Dia diam, menatap lurus Radeva yang juga menatapnya. Sejenak aku merasa suasana agak dingin dan mencekam. Sebagai teman, mama tidak melarang aku berteman dengan Radeva. Namun, aku belum pernah mendengar lelaki seperti apa yang dia inginkan sebagai calon menantu atau suamiku.

"Kapan?"

Napasku langsung kendur mendengar mama menanyakan itu. Wanita itu menyesap tehnya.

"Kami belum menentukan waktunya."

"Kapan kamu punya keinginan nikah denga Pra?" ulang Mama.

Namun Radeva nggak memberikan jawaban untuk waktu yang cukup lama. Setelah beberapa menit, baru bibirnya terbuka dan mengatakan, "Saya nggak pernah kepikiran untuk menikah dengan orang lain."

"Jadi sudah lama." Wanita itu berdiri dengan mudahnya. "Saya mau bertemu dengan keluarga kamu."

"Mama setuju?!" tanyaku, lalu menutup mulut dengan tangan. "Semudah ini?"

"Mama juga nggak berpikir kamu akan nikah dengan orang lain."

Aku terpukau dibuatnya. Kalau begini, aku jadi teringat pertama kali Radeva bertemu mama dan harus menjalani sidang yang menegangkan.

"Tapi, biaya pernikahan harus dari kelian berdua sepenuhnya."

"Mamah!" Aku meninggikan suara tak terima dengan permintaannya. Namun, Radeva menahanku bicara lebih banyak. Wanita perfectionist itu akhirnya menutup pintu kerjanya lagi.

"Dia seharusnya mengeluarkan biaya untuk anaknya menikah," gumamku tak terima. "Tapi nggak pa-pa, aku punya cukup tabungan."

"Aku sudah siapkan biayanya."

"Kita bagi dua."

"Kamu cukup—"

Aku memotongnya. "Kita bagi dua."

Woman On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang