“Sampai dijahit?”
Sebelum Radeva menjawab pertanyaan mamanya, Pramita mendahuluinya. “Cuma tiga jahitan. Nggak sampai gagar otak dan cuma dikasih obat. Ini nggak parah sama sekali.”
Mamanya tampaknya mempercayai bahwa itu memang sebatas luka kecil yang nggak perlu dikhawatirkan. Wanita itu mengangguk-angguk tanpa bertanya lebih jauh.
“Maaf, Mama. Lain kali aku lebih hati-hati,” ucap Radeva masih merasa bersalah.
Pramita belum sempat protes saat mamanya membalas dengan kalem. “Kenapa ini jadi salahmu? Memangnya kamu ngebut di jalan? Kamu sengaja ada di belakang truknya biar kecelakaan?”
Untuk balasan di luar dugaan itu, Radeva merasa sedikit lega mendengarnya.“Jangan merasa bersalah untuk hal yang bukan salahmu. Nggak ada dari kita yang mau kecelakaan.”
“Aku udah bilang bukan salah kamu. Lagian aku cuma luka kecil, bukannya yang sampai harus dirawat.” Pramita ikut bersuara.
Merasa bahwa nggak ada yang perlu dia katakan lagi, Radeva hanya mengangguk. Baguslah karena Pramita memang hanya mengalami luka kecil, dan bahwa ibu Pramita masih bersikap positif di kondisi seperti ini. Dia sudah takut kalau-kalau pernikahan ini akan batal karena Pramita terluka saat bersamanya.
“Katanya kamu harus tetep masuk siang,” kata Pramita, mengingat obrolannya di perjalanan tadi. Justru mamanya yang berdiri.
“Mama juga masih ada kerjaan. Kamu istirahat, Radeva hati-hati.”
“Iya, Mah.”
Setelah wanita dewasa itu menghilang ke dalam ruang kerjanya, Radeva baru bisa menghela napas lega. Dia melemaskan punggungnya, menyandar di kursi dan menatap Pramita dengan senyuman kecil. Siapa sangka dalam kehidupannya akan terjadi momen menegangkan seperti ini. Bahkan ini lebih menegangkan daripada saat dia mengatakan akan menikahi Pramita.
“Kepalanya sakit?” tanya Radeva, Pramita menggeleng. “Kabari aku kalau kamu merasa sakit atau pusing.”
“Kalau nggak sakit dan nggak pusing, aku nggak bisa ngabarin kamu?”
Radeva terkekeh. “Kabari aku kapan pun kamu mau.”
Pramita mengangguk. “Berati beberapa hari kita nggak bakalan ketemu?”
“Kenapa? Kamu mau kita ketemu setiap hari?”
“Aku takut kamu kangen.”
“Aku ke sini kalau kangen.”
“Kalau aku yang kangen?”
“Aku juga yang ke sini.”
“Jadi aku juga harus ngabarin kalau lagi kangen?”
Radeva tertawa pelan. Sejak kapan berurusan dengan Pramita tanpa ada kerandoman semacam ini, tetapi entah kenapa dia selalu senang. Radeva melihat jam di ponselnya, lalu berdiri karena sudah waktunya untuk pergi.
“Aku masih kangen," kata Pramita dengan ekspresi seimut mungkin.
Radeva tertawa. “Kita belum berpisah sejak pagi.” Dia menatap wanita yang manyun itu dengan gemas, lalu menepuk pipinya beberapa kali. “Kabari—”
“Iyaaa, kabari kalau aku sakit atau pusing. Iya aku bakalan selalu ngabarin kamu. Nggak akan ada kabar yang terlewat.”
Radeva menatap calon istrinya dengan senyuman kecil, sedikit nggak rela harus meninggalkan Pramita dalam kondisi terluka. Namun pekerjaan menuntutnya meninggalkan wanita itu sekalipun dia ingin menemaninya sepanjang hari.
“Aku pergi ya.”
“Cium aku dulu.”
Radeva melihat ke dalam. Setelah yakin calon mertuanya nggak mengawasi, dia menunduk untuk memberikan kecupan riangan di ubun-ubun Pra, karena memberi ciuman di bibirnya terlalu mengkhawatirkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Woman On Top
ChickLitPramita pernah nembak Radeva karena alasan sepele, tetapi Radeva menolak karena alasan itu terlalu sepele. Lalu, tiba-tiba Radeva nembak Pra.