Radeva menyipitkan matanya saat melihat seseorang yang kelihatan nggak asing. Perempuan dengan rambut panjang hitam lurus sepinggul, tubuh ramping dan mungil, dan kulitnya yang kuning langsat. Dia seperti pernah melihatnya, tapi di mana dan kapan dia hampir melupakannya. Dia lupa namanya, tetapi dia yakin sekali bahwa mereka saling mengenal.
“Apa yang kamu lihat hah? Apa yang kamu lihat bocah?!”
Tahu-tahu kepalanya sudah dipukuli oleh kakaknya yang tiba-tiba menjadi galak. Radeva mengaduh tanpa melawan, sampai kakaknya sendiri yang berhenti menyiksanya. Dia membetulkan tatanan rambutnya yang berantakan.
“Awas kamu berani dekati Resa lagi!”“Ah, jadi itu Resa. Pantes aku seperti kenal.”
Defandra langsung berdecak kesal. Bisa-bisanya Radeva melupakan Resa, padahal perempuan itu berani menghianatinya hanya demi bisa mengenal Radeva lebih dekat. Dia bergidik kesal setengah mati mengingat masa SMA yang super menyebalkan itu.
“Dia kerja di sini,” gumam Radeva, lalu mengangguk-angguk mengerti kenapa kakaknya sampai datang pagi-pagi sekali. Rupanya benar, kutukan cinta itu benar-benar mendarah daging di keluarganya, sampai kakaknya yang ramah, tampan, jago berantem, dan suka nggombal bisa jatuh cinta hanya kepada Resa seorang.
“Jangan macem-macem!”
“Aku nggak akan muncul dengan sengaja sampai menikah nanti,” kata Radeva sambil mengangkat kedua tangannya. “Lagian, aku nggak suka sama dia. Kalau dia masih suka sama aku, tolong bilang aku nggak pernah suka sama dia.”
“Haih, bocah sombong! Siapa yang masih suka sama kamu.” Defandra mengambil tasnya dan bersiap keluar. Namun sebelum itu dia katakan lagi pada Radeva, “Jangan caper di depannya lagi.”
Radeva nggak mengerti, karena selama ini dia nggak pernah mencari perhatian selain kepada kakaknya sendiri. Lagi pula, bukan salahnya kalau pacar kakaknya ternyata lebih menyukainya. Dan, perempuan itu, Resa, lebih membelanya daripada kakaknya di insiden yang nggak boleh diungkit lagi zaman mereka SMA.Setelah kakaknya turun dari mobil, dia langsung meninggalkan tempat itu menuju rumah Pra. Dia mengirimkan pesan kepada wanita itu bahwa akan tiba dalam beberapa menit.
Begitu tiba di sana, yang dia lihat adalah Pra dalam balutan piyama baby blue bergambar beruang, dengan rambut kusut yang kelihatan belum disisir dicepol ke atas. Radeva tersenyum melihatnya dan sedikit buru-buru untuk menghampirinya di teras rumah.
“Nggak bakal telat masuk kerja kan?” tanya Pra.
“Aku udah izin masuk siang.”
“Wah, bosmu nggak protes ya kamu minta kelonggaran terus?”
Radeva mengedik. Dia meletakkan plastik berisi makanan dan buah yang tadi dibeli dalam perjalanan ke meja bundar. Katanya Pra, mamanya akan pergi pagi sekali hari ini sehingga Radeva cukup membeli dua porsi untuk mereka berdua.
“Masih sakit kepala?”
“Nggak kok, cuma aku kesusahan sisiran aja. Jadinya rambutku gini.”
“Mau dibantu?”
Pramita mengerutkan keningnya. “Sisirin rambutku?” tanya ragu-ragu.
“Iya.”
“Nggak pa-pa? Aku bisa sisiran sendiri kok, cuma sedikit kesulitan aja.”
“Aku bantuin aja dulu. Ambilin sisirnya.”
Pramita terdiam sejenak, nggak begitu yakin. “Nggak mau makan dulu?”“Kamu kelihatan nggak nyaman sama rambutnya.”
Benar, Pra memang risih dengan kondisi rambutnya sendiri. Maka dia masuk dan keluar lagi membawa sisir biasa, lalu duduk di kursi. Radeva mulai dengan melepaskan jepit rambutnya, lalu mengurai sedikit demi sedikit rambutnya yang berantakan terutama di area luka. Dia melakukannya dengan hati-hati sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Woman On Top
Literatura KobiecaPramita pernah nembak Radeva karena alasan sepele, tetapi Radeva menolak karena alasan itu terlalu sepele. Lalu, tiba-tiba Radeva nembak Pra.