8. Sang Mantan

2.7K 307 23
                                        


Mama baru saja melongok ke kamarku untuk mengabarkan bahwa dia membeli bebek bakar langganan kami. Aku langsung menyusulnya ke meja makan. Nasi yang hanya pas dua porsi sudah dibagi ke dalam dua mangkuk bulat. Di tengah meja ada selembar kertas dengan nama salah satu rumah sakit di dekat sini.

"Kesehatan mama nggak menurun, kan?" tanyaku sembari membuka amplop cokelat itu. Kubaca isinya perlahan. Tekanan darah, berat badan, dan gula darah. Semuanya normal.

"Sudah bicara sama orang tua Radeva?"

"Ah, bisa luangkan waktu hari Sabtu? Jam tujuh malam."

"Undang mereka makan di sini aja," katanya menatapku serius.

Aku balas menatapnya penuh pengertian. "Ke restoran aja. Mama pasti nggak senang rumahnya jadi kotor dan harus siapin ini itu. Aku sama Radeva yang bayar kok."

Wanita itu menghela napas, lalu mengangguk kecil. Keningku agak berkerut saat dia mendorong piring berisi bebek bakar dan sambal terasi padaku. Kami nggak terbiasa bersikap saling perhatian begini.

"Nggak mau kasih tau papamu?"

Aku mendesah pelan. Persoalan itu sudah aku pikirkan matang-matang. Sebetulnya nggak ada masalah kalau aku kasih tahu papa, tapi kehadirannya bakalan bikin mama nggak nyaman. Aku nggak terlalu mengharapkan lelaki itu juga. Sebetulnya istri barunya yang sudah punya dua anak sedikit menyebalkan. Tatapannya seolah mengatakan bahwa aku ini hama dalam keluarga kecilnya.

"Nanti lah aku pikirkan lagi," kataku akhirnya.

"Tetap kabari meskipun kamu nggak suka sama istrinya."

Aku menelan potongan daging bebek yang lembut itu. Warung langganan ini memang nggak terkalahkan. Untung sekarang buka dua puluh empat jam sehingga kami bisa menikmatinya kapan pun.

"Aku masih ingat kata-kata istrinya waktu wisuda."

Itu lah momen terakhir aku memberi kabar pada papa soal hari-hari penting. Dia datang ke acara wisudaku bersama istrinya, lalu dengan berani istrinya bilang bahwa aku hanya menghubungi papa untuk minta uang.

Padahal selama sekolah sampai akhirnya wisuda aku tahu mama yang membiayai semuanya. Papa hanya beberapa kali mengirimiku uang jajan. Namun kalau mau membandingkan, jumlahnya nggak seberapa dengan yang sudah diberikan mama.

"Berapa harga rumah yang dibeli Radeva?"

Sambil mengunyah, aku menatap mama dengan heran. Biasanya dia nggak mau tau urusan seperti ini.

"Hampir satu em."

Dia jelas langsung menghela napas meskipun pelan. Lalu dari dalam tasnya dia mengeluarkan buku tabungan dan diberikan padaku.

"Bayar sisanya."

"Wah!" Aku nyengir dan membuka buku tabungan itu. Mataku melebar melihat isinya. Luar biasa! Tapi meskipun terpukau dengan isinya, aku menyerahkan kembali buku tabungan itu padanya.

"Kalau ini soal kata-kataku kemarin, jangan diingat. Aku cuma lagi kesal."

Mama menggeleng pelan. Wajahnya enggak menyiratkan hal yang berarti seolah ini memang sudah dia rencanakan. "Ini tabungan sejak kamu baru lahir. Gunakan sesukamu, jangan bergantung hidup dengan suamimu."

"Sebenarnya Radeva yang bergantung ke aku."

"Siapa orang yang bisa kamu kibuli begitu?"

Aku berdecak kesal. Orang-orang nggak akan percaya karena mereka hanya melihat sisi Radeva yang tampak. Aku sudah melihat sisi Radeva yang paling dia sembunyikan. Lelaki itu benar-benar bakalan kesusahan kalau aku nggak ada di hidupnya.

Woman On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang