6. Cemburu? Hah!

2.6K 268 10
                                        


"Radeva udah jemput?"

Aku menoleh pada Anna. Gadis dengan rambut pirang lurus itu menatapku.

"Belum," kataku, bersamaan dengan memasukkan ponsel ke dalam tas setelah membalas pesan penting dari seorang mata-mata.

"Tumben mau pulang sendiri?"

"Aku yang mau jemput dia."

"Bukannya kamu diantar sama dia?"

Niatku untuk langsung keluar dari kantor terhambat. Anna mengabaikan sebentar komputernya, menatapku yang menatapnya intens. Kalau aku punya mantan sembilan, Anna punya mantan empat sejak SMA. Namun dia lebih berpengalaman dan peka pada lelaki.

Suatu waktu, Sarah, anak magang, bercerita bahwa dia baru putus dengan pacarnya karena orang tua kekasihnya nggak memberi restu, tak lama pacarnya punya pacar baru. Anna cuma bilang kalau Sarah terlalu naif, bukan restu persoalannya, tetapi pacarnya Sarah yang sudah dapat pengganti. Lalu Sarah mendapat fakta kebenaran dari hubungannya yang baru saja kandas.

Jika Anna bilang bahwa si A menyukai si B, maka kebenaran dari hipotesis itu mendekati 90 persen. Sepuluh persennya adalah ketidakberuntungan Anna dalam menaksir perasaan seseorang.

Makanya, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padanya.

"Menurutmu gimana perasaanku ke Radeva?"

Berita aku akan menikah belum tersebar, kecuali kepada Evelin, Danu, Zein, dan pihak WO.

"Kamu nggak bisa kehilangan dia, kan? Kamu rela kehilangan orang lain tapi nggak bisa kehilangan Radeva."

"Wah, romantisnya."

"Tapi kalian cuma teman."

Aku mengulum senyum. "Anna, ini adalah rahasia. Aku cuma bakal ngasih tau kamu, jadi jangan beri tau orang-orang ya."

"Apa? Akhirnya kalian berdua jadian?"

Senyumku melebar dan mataku menyempit. Aku menunjukkan jari-jari kiriku yang salah satunya sudah dilingkari cicin. Anna membuka mulutnya, keterkejutannya nggak bertahan lama. Dalam hitungan detik ekspresinya sudah kembali biasa saja.

"Udah aku tebak ending-nya pasti begini," katanya acuh.

"Kamu nggak mau tanya-tanya gimana aku bisa punya rencana nikah sama dia?"

"Nggak penting buatku."

Sialan. Dia memang si judes yang sulit dikalahkan. Pandangannya selalu realistis dan benci hal menye-menye. Tontonannya adalah film horor atau kriminal yang mengandung unsur gore.

Aku memutuskan meninggalkannya sendirian. Kantor sudah sepi dan hanya tersisa kami berdua. Sebagian besar karyawan hari ini kerja lapangan. Hanya aku dan Anna yang tersisa sejak siang tadi.

Aku memesan Grab menuju kantor Radeva yang jaraknya nggak begitu jauh dari sini. Kalau nggak macet dalam sepuluh menit aku bakalan sampai. Kalau macet bisa sampai setengah jam. Setibanya di sana, beberapa orang menatapku dan menyambutku dengan senyuman hangat. Mereka bertanya apakah aku akan menemui Radeva, dan kujawab ya dengan mantap.

Radeva akhirnya berhasil bekerja di perusahaan impiannya. Meskipun dalam waktu singkat jabatannya sudah lumayan dan gajinya cukup besar, tetapi misteri gimana dia bisa menabung cepat belum terpecahkan. Aku cuma tahu kalau dia bukan orang yang boros dan sangat memperhitungkan pengeluaran untuk hal-hal non primer. Gajinya sepenuhnya miliknya karena calon mertuaku menolak diberi satu rupiah pun.

Para sandwhich generation pasti meronta iri dengan kehidupan keluarga terencana itu.

Aku naik lift setelah menyapa beberapa orang yang kukenal. Di lantai empat aku melihat beberapa lelaki di bilik masing-masing. Seorang lelaki dengan setelah kemeja biru sedang nge-print. Kayaknya dia anak baru atau masih magang. Tiga orang lelaki yang sudah cukup berumur fokus dengan komputernya.

Woman On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang