Setelah istirahat sejenak dari acara pagi, kini Radeva harus memasrahkan dirinya di tangan tim Eveline—lagi. Namun kali ini dia nggak begitu canggung dan kaku, sebab dilakukan bukan untuk pemotretan melainkan untuk acara pernikahannya sendiri. Dia mematut penampilannya di balik cermin. Kemeja putih dipadukan dengan jas dan celana hitam. Rambutnya baru saja selesai diatur oleh seorang penata rambut dari tim MUA, dan dia telah menambahkan aroma parfum maskulin untuk mendukung penampilannya.
Seseorang baru saja memasuki pintu ruangan. Lelaki yang tadi salah tingkah sebab perempuan yang disukainya tiba-tiba datang tanpa peringatan. Kakaknya, Defandra Ega Sebasta yang menyebalkan tetapi nggak bisa dia benci.
Kalau Radeva ditanya siapa yang dia sukai, maka dia akan menjawab kakaknya. Namun jika dia ditanya siapa orang yang paling ingin dia hajar, maka jawabannya juga kakaknya.
Dia terjebak di love-hate relationship yeng menyedihkan.
“Nggak mau makan Dev? Mau tak ambilin?” Lelaki itu melihat-lihat ruangan dan duduk di salah satu kursi. “Pramita hampir siap,” lanjutnya setelah fokus menatap adiknya.
“Aku harus gimana?” tanya Radeva.
“Keluar duluan, Pra nanti nyusul.”
“Lagi?” tanya Radeva diikuti helaan napas keras. Padahal dia grogi harus berdiri di antara semua orang yang memusatkan perhatian padanya dan Pramita sangat dia butuhkan dalam kondisi seperti itu.
“Hm, lagi seperti itu. Laki-laki harus selalu siap berjalan lebih dulu dan menunggu. Ayo keluar sekarang kalau udah nggak ada lagi yang mau diperbaiki.”
Mau tidak mau Radeva menerima ajakan lelaki itu. Namun kakaknya yang menyebalkan malah menatap penampilannya dari atas ke bawah membuat penilaian, lalu bergumam pelan.
“Begini saja penampilanmu?” tanyanya menopang dagu.
“Hm, ada yang aneh?”
“Nggak aneh, tapi terlalu sederhana. Cuma seperti kamu yang sehari-hari.” Kemudian lelaki itu mengeluarkan sesuatu yang sepertinya sejak tadi disimpan di belakang tubuhnya. Sebuah mawar merah dengan ornamen bunga kecil-kecil putih bertangkai pendek.
Defandra memasangkannya di sisi jas Radeva, lalu menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mantap.
“Kamu bawa sapu tangan?”
“Enggak.”
“Laki-laki harus selalu membawa sapu tangan.” Defandra cepat menarik sapu tangan putih dari saku celananya, dilipat rapi dan dimasukkan ke saku jas adiknya dengan menonjolkan sedikit ujungnya.
Ini lah kenapa Radeva tidak bisa menghajar kakaknya sekali pun dia sangat ingin menghajar lelaki itu. Selain karena kakaknya akan menghajarnya balik dan mereka berdua menjadi babak belur, juga karena kakaknya sebetulnya sangat memperhatikan apa yang dia butuh dan inginkan selama ini.
“Ada lagi?” tanyanya tanpa tersenyum sedikit pun.
“Udah cukup. Ayo keluar.”
Lalu dia berjalan beriringan dengan lelaki yang lebih tua itu menuju tempat resepsi.
“Resa ke mana?” tanyanya pelan.
“Ditahan para ibu-ibu.” Defandra terkekeh mengingat gadis itu. “Bilang maaf ke Pramita karena acaranya harus diganggu Resa.”
Radeva bergumam pelan. Kakaknya yang kadang-kadang bijaksana itu menepuk pundaknya saat dia harus memasuki altar. Suara MC menggema memenuhi gedung, dan semua mata tampak terpaku hanya kepadanya.
Radeva kira itu adalah puncak kedua rasa gugupnya menyerang. Namun rupanya itu bukan apa-apa.
Saat Pramita dipanggil ke luar, pintu itu terbuka lebar dan seseorang dalam balutan gaun megah langsung membuatnya menarik napas dalam dan tersenyum lebar meskipun jantungnya berdetak tak karuan. Pagi tadi Pramita hanya mengenakan kebaya panjang dengan ornamen bunga-bunga, rambutnya ditata elegan dan wedding veil menyentuh lantai menutup sebagian rambutnya.
Kini, perempuan yang telah sah menjadi istrinya itu memakai gaun lebar dan panjang berwarna putih polos bergaya sabrina. Wajahnya ditutup oleh wedding veil transparan yang sama polosnya. Tangan kanannya membawa hand bouqet dari bunga tulip. Lagu A Thousand Years pasti dipilih Pramita untuk prosesi ini.
Radeva menegakkan tubuhnya, mempersiapkan tangannya untuk menggandeng perempuan itu. Ketika wanitanya akhirnya tiba di depannya, dia membuka wedding veil yang menutupi wajahnya. Penampilan sederhana dan polosnya betul menciptakan Pramita yang elegan, dan itu membuat Radeva sedikit terharu telah mendapatkan perempuan itu setelah penantian tujuh tahun lamanya.
Dalam suara pelan dan dia pastikan hanya Pramita yang mendengar, Radeva berkata, “Dalam hidup, Pramita, aku mungkin akan melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Tetaplah marahi aku, jangan pernah bosan dan lelah. Sebab nggak ada hal lain yang ingin aku lakukan kecuali itu untuk kamu dan bersama kamu.”
Pramita pasti tersenyum untuk air matanya yang tiba-tiba saja jatuh. Radeva pun tertawa dengan itu. Dia nggak pernah mengira atau menginginkan air matanya jatuh di momen seperti ini. Namun Pramita harus tau bahwa kebahagiannya meluap-luap saat ini.
Lalu perempuan itu menerima uluran tangannya dan Radeva menggenggamnya erat sekali. Lampu utama dimatikan menyisakan lampu dance yang yang redup. Dalam gerakan yang pelan tetapi pasti, dia membawa Pramita melangkah pelan di atas dance floor.
“Aku pasti cantik sekali,” kata Pramita. Radeva hanya bergumam pelan.
Sangat cantik sampai dia rasa nggak bisa memalingkan wajah dari perempuan itu.
“Kamu pasti sangat mencintaiku.”
Radeva sedikit tertawa, lalu menjawabnya. “Iya.”
“Kamu juga luar biasa hari ini,” kata Pramita dan melanjutkan setelah menarik napas. “Dan aku juga mencintai kamu.”
Radeva yakin itu bukan kebohongan, sebab Pra nggak suka berbohong.
***
Pramita melepaskan sepatunya yang terasa menyiksa kakinya setengah mati. Sepatu berhak tujuh centi dengan blundru dan mutiara itu cantik tetapi membuat jari kelingkingnya memerah agak perih. Dia meletakkan di bawah meja, lalu mematut dirinya lagi di balik cermin. Wedding veil-nya sudah terlepas menyisakan rambutnya yang masih digelung.
Di belakangnya, Radeva menyandar di sofa, terlihat sedang menatapnya dari balik cermin. Lelaki itu masih berpenampilan sama persis seperti tadi. Rambutnya sangat rapi dan wajahnya cerah. Setangkai mawar masih ada di sisi jas kanannya.
Hujan sedang baru saja turun. Dari jendela kamar ini mereka bisa melihat lalu lalang mobil yang keluar meninggalkan hotel, juga jalanan yang padat merayap. Setelah mengambil beberapa foto dengan teman kuliahnya yang datang rombongan tadi, acara ditutup tepat di pukul dua siang.
Pra berharap dia akan mengadakan respsi di malam hari, tetapi apa boleh buat demi menghemat budget karena gedung yang ditawarkan temannya masih full book bulan ini, papa mertuanya menawarkan gedung lain dengan acara dari pagi sampai sore. Lalu dia dan Radeva digiring memasuki kamar untuk istirahat. Di dalam kamar ini, mereka belum bicara sama sekali.
Pramita berdeham. Dia melirik koper di sudut ruangan yang berisi pakaiannya dan Radeva selama beberapa hari di sini. Namun apa yang akan mereka lakukan sekarang? Ini hari pertamanya sebagai seorang istri dan itu membuatnya sedikit deg-degan.
“Kamu nggak mau ganti baju?” tanyanya memutar badan sehingga menatap lelaki itu. “Mau mandi? Atau mau tidur?”
“Mandi.”
“Hm.” Dia mengangguk kecil. “Kamu keberatan kalau bantuin aku lepas kancing baju ini?”
Radeva tertawa. Benar, dia juga merasa canggung. Akhirnya dia berdiri dan meminta Pramita menghadap cermin lagi. Kancing kecil-kecil yang berderet di belakang tubuh wanita itu pasti nggak bisa dilepaskan tanpa bantuan orang lain, dan memang nggak ada orang lain di sini kecuali mereka berdua.
“Bajunya nyaman?” tanyanya sambil melepas satu persatu kancingnya. “Siapa yang milih model ini?”
“Aku sendiri. Kamu mau tau harga bahannya?”
Radeva tertawa dan menolak tawaran itu. Dia yakin harganya mahal karena look yang diberikan juga luar biasa indah. Jika pun mahalnya melebihi ekspektasinya, dia tetap nggak akan menyesal sebab yang memakainya adalah Pramita.
“Bisa minta tolong lagi?” tanya Pramita.
“Apa?”
“Ambilkan baju di koper.”
Radeva melepas kancing terakhirnya dan Pramita menahan baju itu dengan tangan agar nggak melorot. Lalu dia membuka koper, bajunya ada di satu sisi dan milik Pramita di sisi yang tertutup. Saat membuka resletingnya dan mencari-cari baju Pra, dia berakhir menyentuh kening dan mendengus pelan.
“Pra,” panggilanya kalem. “Siapa yang nyiapin baju-baju ini?”
“Mamaku dan mamamu, kenapa?”
“Mereka sepertinya sudah pengen cucu.” Dia mengambil beberapa baju dan menunjukkan pada Pramita. Semua ini hanyalah sekumpulan lingerie dan dalaman berenda. Nggak ada pakaian yang layak pakai sekarang.
Namun, Pra malah tertawa sampai membungkuk. Siapa sangka ibunya dan ibu mertuanya menyiapkan pakaian semacam itu untuknya. Lalu dia haru pakai apa di tengah hari begini?
“Kausmu, berikan kausmu,” katanya mengulurkan tangan. Radeva memberinya satu kaus cokelat polos dan Pra cepat memasuki kamar mandi. Saat keluar perempuan itu sudah memakai kaus dan legging pendek hitam, gaunya ditenteng di tangan dan dimasukkan ke dalam koper kecil berlogo butik Eveline.
“Gaunnya besok bakalan diambil sama tim MUA. Dia suka dan mau jadiin ini salah satu koleksi untuk pengantinnya. Kalau kebaya yang tadi pagi aku pengen simpen aja.”
“Jasku bagaimana?”
“Kamu bisa pakai di acara lainnya kalau mau.”
Radeva mengangguk. Dia sudah melepaskan jas itu dan menggantungnya, lalu juga melepas jam tangannya dan ikat pinggangnya. Sedangkan Pramita kembali menatap cermin, dia mengambil baju dan menghilang ke balik kamar mandi. Saat keluar, Pramita masih mengusap wajahnya dengan kapas basah. Kelihatannya butuh waktu cukup lama bagi perempuan itu untuk membersihkan diri.
Radeva duduk di ranjang, mengetes keempukannya dan berakhir merebahkan diri di sana. Dia masih menatap istrinya, memperhatikan gerakan tangan wanita itu menghapus make up dan merapikan rambut, sampai memasuki kamar mandi. Lalu perlahan-lahan rasa ngantuk mengambil alih kesadarannya.Tbc...
Wkwkkw lamanya sampe lumutan yak. Semoga kaliam belum lupa aja wkwkk
KAMU SEDANG MEMBACA
Woman On Top
ChickLitPramita pernah nembak Radeva karena alasan sepele, tetapi Radeva menolak karena alasan itu terlalu sepele. Lalu, tiba-tiba Radeva nembak Pra.