Woman On Top 26

1.7K 220 27
                                    


Pra meletakkan kembali sepatu yang ditunjukkan oleh calon mertuanya dan menunjukkan sepasang sepatu putih dengan rangkaian mutiara di tangannya.

"Satu sepatu aja sudah cukup, Ma, jangan ditambah lagi."

Namun tampaknya, pemikirannya itu kurang sesuai dengan calon mertua perempuannya, sehingga wanita itu menatapnya dengan kening berkerut dan langsung protes.

"Kamu butuh sepatu untuk acara pesta, dan paling enggak satu pasang lagi untuk acara formal."

"Kotak hantarannya nggak akan cukup buat dua pasang."

"Kenapa kamu mempermasalahkan kotaknya? Kalau kurang kita bisa minta tambah."

"Aduh tanganku capek bawa barnag-barang ini. Semuanya berat." Pra meletakkan semua tas belanjanya ke lantai dan memijat pergelangan tangannya. Perilakunya tak ayal membuat calon ibu mertua itu tersenyum hampir tertawa.

"Yakin nggak mau satu lagi? Apa kamu mau merek lain?"

"Sepertinya kita harus makan habis ini. Mama nggak lapar? Aku yang traktir."

Pra mengabaikan pertanyaan terakhir itu, lalu meminta pegawai toko untuk membungkus sepatunya dan merelakan jatah membayar dilakukan oleh wanita setengah baya itu. Mama Naomi bersikukuh ingin membayar semua barang-barang ini dengan beberapa alasan yang nggak bisa dibantah: ini memang tanggung jawabnya sebagai ibu Radeva, dan sudah lama dia merindukan membelikan anak gadisnya barang-barang seperti ini.

Akibatnya Pramita kelelahan mengikuti nafsu belanja wanita itu. Mulai dari underware—kecuali lingerie karena Pra malu—sampai skincare, Pra sama sekali nggak kehilangan uang. Dia hanya sedikit merasa kehilangan tenaga.

"Mama mau makan apa? Sushi? Steak?"

"Kita butuh makanan berkuah yang hangat di cuaca seperti ini," kata wanita itu melihat ke luar mall yang masih basah bekas hujan. "Nanti tungguin mama beli donat ya buat dibawa pulang."

"Ada yang pesen? Atau mau bawa aja?"

"Kakak suka donat dari masih bayi sampai sekarang." Tiba-tiba saja mama Naomi bertanya hal yang membuat Pra syok berat. "Kamu sudah memikirkan mau punya anak berapa?"

Akhirnya dia menggeleng jujur setelah merasa wajahnya pias dan kaku. "Urusan itu sepertinya kita bahas menyusul."

Sesungguhnya urusan itu belum terlalu dia pikirkan. Kadang-kadang dia ingin punya anak tunggal, kadang-kadang dia ingin punya beberapa anak. Keinginannya tergantung keadaan seperti apa yang dia hadapi, dan Radeva tampaknya juga belum mantap memikirkan soal berapa anak yang harus mereka miliki nanti.

"Menikah nggak seindah yang kita bayangkan, dan punya anak juga nggak segampang yang kita pikirkan. Jadi kalian memang harus memikirkannya matang-matang."

"Mama juga merasa begitu?" Pra menoleh sekilas tanpa menghentikan langkahnya.

"Mungkin sebagian besar orang yang menikah memikirkan itu. Laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda."

"Kenapa?" Pra menggigit bibirnya ragu-ragu ingin mengutarakan isi pikirannya soal apa yang dia lihat. Namun, Mama Naomi sudah menjawab lebih dahulu.

"Setiap kepikiran lebih mudah mana hidup sendiri atau menikah dan punya anak, mama yakin menjawab lebih mudah hidup sendirian. Banyak hal yang mama dan papa lakukan berdua, tapi sebetulnya dulu mama adalah wanita karir sebelum menikah. Kebutuhan mama tercukupi sebelum menikah, makanya nggak jadi begitu istimewa waktu kebutuhan mama ditanggung papa."

Wanita itu memindahkan tasnya ke tangan kiri, dan melanjutkan bicaranya dengan sedikit menggerakan tangan kanannya.

"Coba pikirkan, waktu gadis kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Kita makan apa yang kita mau, dan beli apa yang kita mau. Kita pergi ke mana pun semau kita dan liburan kapan pun kita butuh. Lalu tiba-tiba seseorang datang mengajak menikah, membuat kebebasan kita mau nggak mau terenggut. Mama tanya papa suka apa dan lebih senang bikin masakan yang dia sukai daripada mama sukai. Mama beli sesuatu yang memang dibutuhkan dan banyak menabung untuk masa depan anak-anak. Mama nggak bisa liburan sendiri dan harus menyesuaikan dengan jadwal kerja papa.

Woman On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang