Woman On Top 33

2.5K 279 57
                                    

Bukan Arga yang mau menikah lagi, tetapi dia ikut deg-degan dan panik seperti yang mau menikah.

“Apa? Mau ke kamar mandi lagi?”

Suara Defandra terdengar keras dan kesal menatap sang adik yang memegangi perutnya dan bersiap meninggalkan ruang tamu. Ini bukan pertama kalinya, tetapi sudah ke tiga belas kalinya sejak anak keduanya selesai mandi dan berganti pakaian.

“Sebentar,” sahut Radeva sambil berlari kecil ke arah kamarnya.

Arga bukannya nggak memahami betapa groginya anak itu sekarang, bahkan dia pun gugup seolah menjadi pihak yang akan menikah. Dia memahami mengambil alih tanggung jawab seorang gadis dari pundak orang tuanya ke pundaknya sendiri adalah hal yang butuh keberanian besar, dan maka dari itu wajar seseorang menjadi gugup.

Namun Radeva terlihat berlebihan. Sesungguhnya, Arga belum pernah melihat anaknya yang ini gugup separah ini. Dia selalu kalem, tenang, dan menerapkan prinsip berpikir sebelum bicara maupun bertindak.
Tiga belas kali ke kamar mandi dalam waktu dua jam juga berlebihan.

“Gimana kalau pas acara dia juga mau ke kamar mandi sesering ini?” gumam Defandra dengan nada tak percaya. Lelaki itu lebih santai, menyandar di sofa sambil memegangi ponselnya.

“Mama di mana?” tanya Arga. Dia berdeham saat merasakan detak jantungnya sedikit berlebihan.

Belum Defandra menjawab, wanita yang dia cari-cari sudah muncul. Wanita itu mengenakan kebaya berwarna ungu, atau kalau seorang Naomi yang mengatakan itu adalah warna eggplant, tetapi di mata Arga itu hanya warna ungu yang menawan untuk kulit istrinya yang putih. Rok sempitnya berbahan songket dan kakinya dibalut sepatu hitam berhak empat senti meter. Rambutnya digelung sedikit berantakan tetapi justru membuatnya terlihat cantik dan elegan dengan beberapa hiasan rambut.

“Radeva ke mana? Ke kamar mandi lagi?”

“Hem, ini ketiga belas kalinya,” jawab Defandra.

Arga berdeham lagi saat Naomi memandangnya intens, lalu beberapa saat kemudian wanita itu sudah membetulkan dasi yang melilit lehernya.

“Kenapa? Kamu grogi juga sampai nggak bisa pasang dasi?” wanita itu bergumam kalem. Dasinya dilepaskan dan disusun ulang, lalu dipakaikan lagi untuk melengkapi penampilan suaminya. “Udah.”

“Mamah, gimana penampilanku?” Defandra menginterupsi sambil berdiri dan menggerakkan pundaknya kecil, lalu berdiri tegap. “Aku juga kelihatan grogi?”

“Awas nanti kalau kamu nikah terus lebih parah dari Radeva ya.” Naomi menipiskan bibir melihat tingkah anak pertamanya yang sedikit menaikkan dagu angkuh.

“Mana mungkin aku grogi. Aku selalu lebih berani dari dia.”

“Kamu belum tau aja gimana rasanya mau menikah.”

Defandra tertawa sombong. Membicarakan menikah, dia saja baru ditolak oleh seorang gadis manis yang rencananya diajak menemani ke acara ini. Padahal cintanya sudah bersemayam di hatinya sejak kelas dua SMA sampai sekarang dia sudah lulus kuliah empat tahun lamanya. Dia masih pusing memikirkan bagaimana mencari pengganti wanita itu, atau paling tidak melupakan cintanya kepada perempuan itu.

Jadi jangan minta dia memikirkan menikah karena berapa pun usianya dia hanya akan menikah dengan orang yang betul-betul dia cintai.

Untungnya Radeva muncul tak lama kemudian. Wajahnya memerah dan bibirnya terlihat jelas sedang mengatur napas seperti orang yang mau melahirkan.

“Udah jam segini kita harus berangkat sekarang,” kata Defandra. Dia mengantongi ponselnya ke saku celana dan merapikan batiknya.

“Mamah….”

Woman On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang