3.Keluarga Cemara

2.6K 327 38
                                    


"Apa kita kelihatan seperti pasangan kekasih dari dulu?"

Radeva mengedik. Kali ini giliran aku yang dikenalkan sebagai calon istrinya ke orang tuanya. Tante Naomi, yang sekarang minta dipanggil Mama Naomi, mengatakan hal yang nggak jauh beda dengan mamaku.

Saat Radeva mengatakan akan menikah denganku, wanita itu langsung menyatukan tangannya di depan dada dan mengucap syukur yang panjang sekali. Aku hanya bengong melihatnya. Dia memelukku erat sekali sambil menepuk-nepuk punggungnya dan berkata dengan takjub.

"Akhirnya, kalian sadar juga untuk cepat nikah." Wanita itu memintaku menunggunya memanggil suaminya. "Pra, panggil Tante Mama mulai sekarang. Oke?"

"Ahm, iya."

Lantas wanita itu tergopoh-gopoh masuk untuk memanggil suaminya yang menggemaskan. Radeva nggak terkejut dengan respon mamanya. Kurasa, dia memang sudah menduga hal seperti ini akan terjadi ketika memutuskan untuk menikah denganku.

"Memang kamu nggak pernah denger temenmu bilang apa soal kita?" tanya Radeva balik.

Aku mengedik. "Mereka bilang kita kelihatan seperti orang pacaran. Tapi aku selalu bilang kalau kita cuma teman."

Tak lama calon ayah mertuaku muncul dengan istrinya. Lelaki itu mengenakan kaus abu-abu dan celana pendek. Beberapa helai rambutnya sudah tumbuh memutih. Saat ke sini terakhir kali, aku melihat Mama Naomi sedang mencabuti uban suaminya itu.

Aku menarik napas setelah calon mertuaku duduk di hadapanku dan Radeva. Om Arga-ekhm, aku juga harus memanggilnya Papa Arga mulai sekarang-langsung bertanya to the point.

"Sudah ketemu orang tuanya Pramita?"

"Sudah," jawab Radeva. "Beliau minta pertemuan keluarga."

"Kapan?"

"Secepatnya." Kali ini aku yang menjawab. Aku menunjuk ponsel saat Radeva mengerutkan kening tanda penuh tanya.

"Sudah yakin mau menikah?"

Untuk pertanyaan kali ini, aku nggak punya jawaban sama sekali. Radeva hanya mengangguk, lalu nggak ada pertanyaan lanjutan dari orang tuanya. Prosesnya berjalan begitu mudah. Papanya setuju, mamanya memintaku makan malam di sini, lalu Bang Defandra datang dan menyapaku dengan sumringah.

"Halo adik ipar," katanya sembari melambaikan tangan. "Akhirnya beneran jadi calon adik ipar. Aku sudah pernah bilang kan kalau kalian pasti menikah?"

"Masa?" tanyaku, benar-benar nggak ingat.

"Aku bilang ke Radeva."

Dia menjabat tanganku erat sekali sampai aku meringis. Dia memang suka bercanda begini.

"Gimana rasanya jadi calon istrinya Radeva?"

"Menakjubkan," jawabku berbisik. "Tapi Bang Defan bisa ajari dia cara melamar gadis dengan benar?"

"Kenapa? Kamu dilamar di warung bakso?"

"Gimana bisa tau?" tanyaku setengah takjub.

Bang Defandra menggelengkan kepalanya dengan ekspresi putus asa. "Aku nggak berharap itu benar," katanya. Lalu dia segera duduk di sebelah Radeva dan merangkul adiknya yang kaku itu. Mereka berbisik-bisik-tepatnya, Bang Defandra berbisik ke Radeva dan hanya ditanggapi dengan malas.

Aku berlari kecil memasuki dapur dan membantu Mama Naomi. Dia sedang membuat jus jambu biji, aku menawarkan diri membantunya. Saking seringnya aku main ke rumah ini, aku sampai tahu bahwa keluarga ini sangat suka dengan buah. Kulkasnya hampir nggak pernah kekurangan buah segar.

Woman On TopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang