Mama masih duduk di meja makan saat aku tiba. Dia pasti mendengar deru mobil yang kuparkir di halaman berjejer dengan mobilnya. Kalimat tanya langsung keluar dari bibirnya yang sedang mengunyah potongan apel fuji.
"Mobil siapa yang kamu bawa?"
"Mobil Radeve, dia kelelahan jadi nggak bisa antar aku pulang."
"Hati-hati bawa mobilnya orang."
Aku yang baru saja mengambil air dingin dari kulkas langsung menatap wanita itu kesal.
"Seharusnya mamah lebih khawatir kalau aku kecelakaan, dengan mobil siapa pun itu nggak lagi penting."
"Kalau kecelakaan dengan mobil orang lain kamu harus bayar ganti rugi selain bayar rumah sakit."
Decisanku tak terkendali. Setelah menghabiskan satu gelas air dingin dan membuang bungkusnya ke tempat sampah, aku berniat meninggalkannya ke kamar. Namun tiba-tiba aku teringat dengan calon mertuaku yang mempersiapkan kehidupan masa depan anaknya dengan baik. Aku ingin mengingatkan mama sekaligus menyindirnya agak kasar, tetapi sesuatu dalam diriku menahannya kuat, sehingga yang keluar dari bibirku hanya sepotong kalimat pendek.
"Radeva beli rumah, tapi belum lunas."
"Bagus kalau kamu nggak perlu tinggal sama mertua," balasnya acuh tak acuh.
"Sebagian uangnya dari papanya." Aku menyandar di kusen pintu. Hasrat untuk mengkritik wanita itu sungguh tinggi malam ini. Mungkin datangnya karena rasa iri pada kehidupan Radeva yang punya keluarga hampir sempurna, atau karena ini sedang masa pra menstruasi yang kerap kali membuatku lebih mudah terpancing emosi. Mulutku nggak bisa dikendalikan sehingga kalimat demi kalimat itu keluar tanpa terproses di otak.
"Papanya cukup kompeten sebagai orang tua. Dia menyiapkan dana untuk anaknya menikah. Tapi karena Radeva nggak perlu suntikan dana, jadi uang itu digunakan untuk beli rumah. Orang tuanya mempersiapkan kehidupan anaknya, bukannya menuntut anaknya hidup mandiri dan membiayai pernikahannya sendiri."
Aku melangkah bersamaan dengan bunyi nada dering di ponsel. Nama Radeva muncul di pop up sedang melakukan panggilan telepon. Begitu tersambung, dia langsung menanyakan keberadaanku sekarang.
"Udah sampai mana?"
"Udah di rumah. Kenapa belum tidur? Katamu sudah ngantuk."
"Aku kira belum sampe makanya belum ngabarin."
Setelah meletakkan tas dan sepatu dan berbaring di kasur dengan kaki menggantung, aku menghidupkan loud speaker dan memeriksa pesan masuk sembari mendengarkan suara Radeva. Dia terbatuk beberapa kali dan tampaknya hidungnya tersumbat.
"Udah mandi, Dev?"
"Kenapa tanya?"
"Cuma mau tau kebiasaanmu."
"Tiba-tiba aja?"
Aku bergumam. Tak ada pesan penting yang harus dibalas malam ini juga. Aku menetapkan prinsip cuti kerja begitu sudah tiba di rumah kecuali untuk urusan yang sangat urgent. Kuletakkan ponsel di sebelah telingaku sambil memandang langit-langit kamar.
Radeva berdeham sebelum menjawab pertanyaan pertama. "Udah," katanya, lalu bertanya balik. "Apa yang biasa kamu lakukan sepulang kerja?"
"Dijemput kamu, kalau sempat makan sama kamu, kalau nggak sempat langsung pulang dan makan apa pun yang ada di rumah. Eum... rebahan sebentar, kalau masih punya tenaga aku mandi tapi kadang-kadang aku ketiduran dan baru mandi dini hari. Tapi itu jarang terjadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Woman On Top
ChickLitPramita pernah nembak Radeva karena alasan sepele, tetapi Radeva menolak karena alasan itu terlalu sepele. Lalu, tiba-tiba Radeva nembak Pra.