"Aku harus pulang."
Adalah kalimat yang membuat Pramita seketika bad mood dan hampir mencakar-cakar wajah Radeva yang datar. Dia yang sudah berdandan siap untuk jalan-jalan seketika mengemasi semua barangnya ke dalam koper.
Lelaki itu sendiri yang mengatakan bahwa akan punya waktu satu hari free di Bali, sehingga mereka bisa memanfaatkannya untuk berjalan-jalan seharian. Lalu sore hari mereka akan pulang dan tiba di Jakarta malamnya. Selanjutnya lelaki itu akan bekerja sibuk, sering lembur, selama dua belas hari dan akan mulai menjalani cuti di hari ke tiga belas selama sembilan hari.
Sepanjang perjalanan, dari acara berkemas sampai naik pesawat lalu tiba di Bandara bahkan sampai mereka dalam perjalanan ke rumah, Pra berusaha memperbaiki mood-nya yang langsung berantakan. Radeva itu... ah, seharusnya dia jangan sampai menjanjikan liburan jika memang pekerjaannya sangat padat. Pramita nggak akan marah—ralat, dia akan marah sedikit saja.
Namun lihatlah betapa lelaki itu menyebalkaaan!
Pra berkali-kali mendengus. Dia melihat ke jalanan Jakarta lagi melalui kaca mobil taksi yang akan mengantarnya dan Radeva ke rumah, sedangkan radeva menikmati ngobrol santai dengan supir yang ternyata adalah seorang karyawan BUMN yang sedang mengisi waktu luang.
Mereka membicarakan iklim yang terjadi belakangan ini, soal merosotnya nilai rupiah, soal banjir yang menggenangi kota Jakarta lebih parah daripada sebelumnya, soal bom-bom Rusia dan Israel yang digunakan untuk menyerang negara tertentu.
"Rumahnya belok sini ya," kata si driver sembari bersiap membelokkan mobilnya memasuki perumahan.
Kurang dari lima menit, mobil sudah berhenti di depan rumah Pramita. Radeva dengan cepat turun dari mobil, membuka bagasi dan menurunkan kopernya serta membawanya ke teras rumah gadis itu.
"Aku pergi," kata lelaki itu dengan gampangnya.
Pra hanya mendengus, malas menjawab. Dia membuka pintu, memasukkan koper, lalu menutupnya segera. Dia kesal sampai kepalan tangannya terasa kuat dan bisa menghancurkan apa pun untuk ditinju. Kekesalannya semakin tinggi saat suara mobil meninggalkan rumahnya, dan Radeva meninggalkannya.
"Akh!" Pra berteriak dengan suara tertahan, tetapi rupanya itu cukup menarik perhatian ibunya sampai wanita itu keluar dari ruangan.
"Kamu kesambet leak Bali sampai teriak-teriak seperti itu?"
Tanpa berniat membalas, Pra melangkah meninggalkan ruangan itu dengan hentakan kaki kuat ke lantai. Ibunya sampai ngelus dada melihat wajahnya yang masam.
"Kenapa udah pulang? Katanya malam baru sampai."
"Tanya aja ke calon mantu mama kenapa udah pulang sekarang," balasnya judes.
Mamanya hanya menatap anaknya dengan heran. Gadis itu memasuki kamar dan menutup pintunya agak kasar. Sebenarnya Pra mirip siapa? Ayahnya jelas bukan pemarah seperti itu. Ayahnya Pra, harus dia akui, adalah lelaki kalem dan kurang pendirian.
"Apa dia mirip aku?" gumamnya sambil berdecak. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya setelah berpikir cukup lama, lalu masuk ke ruang kerjanya lagi.
***
Lagi-lagi dia melemparkan ponsel ke sembarang sisi di atas ranjangnya, lalu telentang menghadap langit-langit sambil menghela napas berkali-kali. Bukannya membaik, rasa sebalnya meningkat berkali-kali lipat setiap melihat pesannya belum dibaca sama sekali.
Memangnya pekerjaan Radeva itu sebegitu sibuknya sampai dia nggak bisa menyempatkan waktu satu menit mengetikkan balasan untuknya? Lagi pula, pesan yang dikirim Pra juga untuk kepentingan mereka berdua, bukan pesan menye-menye minta dikabari kapan pun di mana pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woman On Top
ChickLitPramita pernah nembak Radeva karena alasan sepele, tetapi Radeva menolak karena alasan itu terlalu sepele. Lalu, tiba-tiba Radeva nembak Pra.