14. Urusan laki-laki

51 12 3
                                    

Rin membawa satu nampan penuh berisi cupcake dari dapur. Dia berjalan sampai ke belakang rak etalase, kemudian mulai menata deretan kue mangkuk berhiaskan buah stroberi yang merah merona tersebut ke dalam salah satu space di rak tersebut.

"Selamat siang Adek Rin yang cantik"

Refleks Rin mengalihkan atensinya dengan mendongakkan kepalanya ke atas kala ia mendengar suara lembut seorang pria yang sudah dia hafal diluar kepala.

Benar saja, dari balik etalase berbahan kaca yang dipenuhi oleh aneka menu bread di kafe Dean ini, Rin bisa melihat seorang pria jangkung dengan balutan hoodie abu-abu serta celana hitam longgarnya itu yang berdiri tepat di depan rak etalase ini. Pria tampan itu setia memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku hoodie-nya serta jangan lupakan bagaimana tudung hoodie-nya itu yang setia menutupi rambut hitamnya yang agak panjang, bahkan poninya hampir menutupi kedua matanya. Gayanya kelewat santai memang, tidak mencirikan statusnya sebagai bos sebuah usaha percetakan yang terkenal di pertigaan jalan sana.

Rin melemparkan senyuman manisnya, menyapa dengan ramah pria yang lebih tua darinya tersebut, "Siang juga Mas Galih. Mau pesen kopi buat karyawannya ya Mas?" Tanya Rin, berbicara dengan Galih sembari sesekali dia fokuskan pandangannya pada sisa cupcake yang harus ia tata di rak etalase.

Galih menganggukkan kepalanya sekali, "Iya Dek, sama sekalian bungkus kamunya ya" ucapnya dengan nada suara yang terkesan loyo.

Rin terkekeh pelan mendengar ucapan Galih barusan yang sudah sangat sering dia dengar. Galih ini memang terkenal dengan mulut manisnya, sampai-sampai apapun yang keluar dari mulutnya tidak jauh-jauh dari yang namanya rayuan maut untuk wanita. Lucunya, setiap Galih terkesan merayu, dia selalu menyampaikannya dengan pembawaan kelewat santai bahkan terkesan tidak bertenaga seolah ia tidak benar-benar berniat merayu seseorang.

Awal-awal sih Rin dibuat keheranan karenanya. Seram saja rasanya dirayu oleh pria yang kelihatan malas melanjutkan hidupnya. Tapi setelah ia mengenal cukup lama salah satu pelanggan tetap di kafe Dean ini, Rin akhirnya tahu beberapa hal soal pria berusia dua puluh enam tahun yang selalu terlihat lemas, loyo dan tidak bertenaga itu, bahkan kedua matanya saja selalu menatap sayu orang-orang disekitarnya. Ya, persis seperti pendapat Rin di awal, bahwa Galih itu seperti manusia yang tidak tertarik untuk melanjutkan hidupnya.

Menurut Dean sih memang sudah dari pabrikannya Galih didesain seperti itu, ditambah dengan kesibukan Galih dalam menjalankan usahanya yang selalu kebanjiran pelanggan itu sehingga waktu tidurnya menjadi terbatas, yang kemudian berpengaruh untuk tubuhnya. Untung saja tertolong dengan wajahnya yang tampan rupawan bak pangeran di negeri dongeng.

"Mas tunggu aja ya. Mas Deannya lagi ke toilet" ujar Rin seraya menunjuk ke arah meja barista yang dalam keadaan kosong karena pemiliknya baru saja izin ke toilet.

Galih pun langsung menganggukkan kepalanya dengan santai, "iya, aku tunggu Dek. Demi kamu apa sih yang enggak"

Rin menggelengkan kepalanya pelan. Ada saja jawaban Galih barusan yang merembet dengan hal-hal berbau rayuan. Ah tidak tidak, jangan kira Galih menyukainya hanya karena 'kebiasaan' Galih tersebut, karena sejujurnya 'kebiasaan' itu tidak hanya berlaku pada Rin saja.

Hubungan keduanya itu lebih kepada hubungan adik-kakak. Galih tidak memiliki perasaan pada Rin yang menjurus pada hal romansa. Justru dia menganggap Rin seperti adiknya sendiri mengingat ia pun memiliki seorang adik perempuan.

Galih ini anak rantauan. Asli Padang. Dia membuka usaha di kota ini untuk menggantikan Ayahnya yang tidak bisa lagi mengelola usahanya tersebut setelah beliau sakit-sakitan sebelum akhirnya meninggal dunia setahun setelahnya. Bisa dibilang sejak saat itu Galih menjadi tulang punggung untuk keluarganya yang memilih untuk tetap menetap di Padang.

Attakai Café (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang