30. Misi Sean : 'mencari jawaban'

35 11 2
                                    

"Lo yakin keliatan dari sini, Sen?"

Sean mengibas-ngibaskan tangannya, memberikan kode agar Amaya berhenti menanyakan hal yang serupa padanya. Bukannya apa-apa, sekarang itu Sean sedang fokus menjalankan misinya. Kalau Amaya terus meragukan dirinya dan menanyakan hal yang serupa padanya, bisa-bisa konsentrasinya terpecah belah.

Mendapatkan respon acuh dari Sean membuat Amaya menghela napasnya panjang. Dia pun hanya bisa memangku dagunya pada kedua tangannya yang bertumpu di atas puncak pagar balkon rumah Galih. Iya, mereka sedang ada di rumah Galih saat ini.

Selepas kejadian di taman, disusul dengan rencana baru mereka di mana mereka akan menginterogasi Desi, mereka tidak langsung memutuskan untuk pulang memang. Mereka justru memikirkan cara yang tepat agar mereka bisa bicara dengan Desi secara intens tanpa dicurigai oleh Dean dan Rin. Sebetulnya sih rencana tersebut bisa saja dilakukan keesokan harinya, tapi karena Sean keburu kepo alhasil dia ingin mereka merealisasikan sebuah rencana yang dapat memungkinkan mereka mengobrol bersama Desi dihari ini juga.

Dan inilah cara yang Sean maksud.

Entah bodoh atau faktor kelewat frustasi. Sean membawanya ke toko Galih dan meminjam area balkon Galih. Dia berniat memata-matai kafe Dean dari kejauhan. Ah, bahkan terlalu jauh dalam sudut pandang Amaya. Ayolah, dari posisinya ini Amaya bahkan tidak bisa melihat keberadaan kafe Dean, bisa-bisanya Sean menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk mengamati kafe Dean.

Tujuan Sean memata-matai kafe Dean itu agar mereka bisa melihat pergerakan Desi tanpa ketahuan oleh Dean. Begitu mereka melihat Desi keluar dari kafe, mereka akan berlari dari toko Galih dan menculik Desi untuk menanyakan banyak pertanyaan di benak mereka soal Dean dan Rin.

"Kata gue sih telepon aja Mbak Desinya" celetuk Amaya dengan nada suara malasnya.

"Shtt!" Sean mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Amaya, meminta Amaya untuk berhenti berkomentar. Pikiran manusia tidak sabaran itu ya seperti Amaya, dia memikirkan cara instan yang sebetulnya berbahaya bagi mereka. "...Kita kan lagi bolos Ay, kalau telepon Mbak Desi trus dia kaget bisa-bisa dia teriak, buat kehebohan terus ketauan Mas Dean, Ay" lanjutnya, sementara kedua matanya masih fokus memata-matai kafe dengan teropong mainan yang dia beli di toko Galih. Di toko Galih memang menjual beberapa mainan termasuk teropong tadi serta aneka gantungan kunci. Rakus memang Galih, semuanya ingin dia jual.

"Ya udah kirim chat "

"Nggak mungkin dibales. Kafe lagi rame" balas Sean lagi, tidak mau kalah berdebat dengan Amaya.

Amaya menghela napasnya panjang, tidak lagi menanggapi Sean. Dia sudah lelah berdebat. Toh Sean pasti tidak akan mau kalah darinya. Biarkan sajalah Sean melakukan apa yang dia mau. Sebagai partner, Amaya memilih untuk mengamati Sean saja yang begitu fokus dengan teropongnya.

Bibir Sean sesekali mengerucut, sesekali juga berdecak saat dia tidak juga melihat Desi keluar dari kafe. Memang kalau dipikir lagi rencananya ini agak nekat sih karena tingkat keberhasilannya sangat kecil. Sedang bekerja begini Desi kan sangat jarang keluar kafe, dia akan betah sekali di dapur.

Perlahan seulas senyuman terpatri di wajah Amaya hingga kemudian Amaya tidak bisa menahan kekehan gelinya.

Sean yang mendengarnya sontak saja mengerutkan keningnya kebingungan meskipun atensinya tidak lepas sedikitpun dari kafe. Aneh saja karena Amaya yang sebelumnya kesal padanya mendadak tertawa begitu.

"Ngetawain gue ya lo" tuduhnya.

Amaya menganggukkan kepalanya dengan tegas, "emang. Habis lucu sih. Buaya darat kaya lo ternyata bisa se-care itu ya sama Kakak lo" ujarnya. Melihat Sean yang seserius itu menjalankan misinya membuat Amaya sadar betul bahwa Sean memang sangat perhatian pada Kakaknya.

Attakai Café (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang