38. Hu-hu dan Ha-ha...

54 11 2
                                    

Krincing~

Amaya mendorong pelan pintu kafe. Raut wajahnya kentara sekali kebingungan karena sejak pagi tadi sampai dia pulang sekolah pun tanda 'closed' tidak berubah sama sekali. Dia sempat menduga bahwa Rin lupa membalikkan papan penanda semata. Namun setelah dia membuka pintu kafe kemudian melihat kafe dalam keadaan sesepi ini, agaknya cukup menjadi pemertegas bahwa kafe memang sengaja tutup.

Fakta bahwa pintu kafe tidak terkunci pun sudah terjawab dengan kehadiran Sean sebagai satu-satunya orang yang mengisi kafe. Dia duduk di atas salah satu meja dalam keadaan bersila sembari memegangi sapu. Dia juga memakai seragam sekolah, sama sepertinya, pertanda bahwa dia pun baru pulang sekolah.

"Sen"

Alih-alih menoleh, Sean hanya melirik dengan ekor matanya ke arah Amaya yang kini melangkahkan kakinya menghampirinya.

Amaya menghentikan langkahnya tepat di depan meja yang Sean duduki. Lantas dia dibuat kebingungan lantaran melihat wajah Sean yang ia sadari dihiasi raut suramnya, ditambah dengan fakta bahwa Sean masih memegangi sapu ijuk, seolah Sean ada dititik di mana dia belum ikhlas membantu urusan kafe. Tapi kan fase semacam itu sudah dilewati oleh Sean, jadi mustahil Sean tampak sesuram itu karena tugas semacam itu.

Lantas, ada apa dengan Sean?

Ah, atau jangan-jangan rencana Sean kemarin di mana dia akan berbicara dengan Dean dan menyelesaikan semua permasalahannya dengan Dean hanya berdua saja malah berakhir hancur berantakan, makannya Sean berubah murung dihari ini, dan Dean yang juga memutuskan untuk menutup kafe.

Iya, bisa saja kan mereka ribut besar.

Ck, sudah Amaya duga sih akan berakhir begini. Seandainya saja sejak awal Sean membiarkannya menemaninya bertemu Dean. Paling tidak Amaya akan menjadi pihak yang menengahi mereka ketika situasi berubah tidak kondusif. Memukul wajah Sean dengan kanebo misalnya. Sebab Amaya yakin, 90% keributan antara Dean dan Sean disebabkan oleh Sean yang kadangkala tidak bisa mengatur emosinya. Lain dengan Dean yang sangat pandai mengatur emosinya.

"Kepo boleh, nethink jangan"

Amaya menggulirkan bola matanya ke arah Sean, dia pun menyengir lebar saat manik matanya bertubrukan dengan manik mata Sean yang menatapnya dengan malas bercampur agak sinis di sana. Sepertinya makin ke sini Sean makin pandai mengartikan ekspresi wajahnya.

"Ya habisnya pas-pasan banget sama kejadian kemarin. Wajar kan gue ngira sampe se-negatif itu?"

Sean menghela napasnya panjang. Dia menjatuhkan sapunya ke lantai tanpa perduli. Lalu Sean menurunkan kedua kakinya dari atas meja, membiarkan kedua kakinya menjuntai ke bawah, sementara tangannya sibuk mengambil kotak tisu yang juga tersedia di meja tersebut. Dia pun menaruh kotak tisu itu di atas pangkuannya, lalu dengan penuh kegalauan Sean mencabut tisu itu satu persatu lalu dia sobek kecil-kecil. Alhasil sobekan tisu itu pun berserakan di lantai yang tadinya akan dia bersihkan.

Amaya bersidekap, mulai merasa ada yang janggal dengan Sean. Sean itu kalau galaunya serius akan berubah menjadi pendiam dan tertutup. Belum lagi ekspresinya yang begitu mudah terbaca. Jadi Amaya yakin, permasalahan Sean kali ini mungkin ada kaitannya dengan kejadian kemarin. Ya, tentu saja kejadian kemarin adalah permasalahan yang cukup serius.

"Cerita deh sama gue. Lo kenapa?"

Sean melirik Amaya, masih sembari menyobeki tisu ditangannya. Cukup lama Sean menatap kedua matanya hingga kemudian Sean menghela napasnya keras lalu mencabut tisu lainnya dan meremasnya kuat-kuat sampai membentuk bola.

"Kesel"

"Tau" jawab Amaya dengan tegas. Amaya kemudian menunjuk wajah Sean dengan jarinya, serta jangan lupakan bagaimana raut wajahnya yang super songong seolah dia adalah cenayang yang tahu masa depan suram dari seorang Sean. "Muka lo udah jawab semuanya"

Attakai Café (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang