11. Sean's behavior

67 15 1
                                    

Sean menyapu kafe sembari sesekali mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang terkalung di lehernya. Jangan kira Sean lebay, karena Sean berkeringat begini bukan hanya karena menyapu semata, tapi karena dia pun disuruh ini itu oleh Amaya dan Desi. Sehingga sejak dia turun dari lantai dua pun dia terus bolak balik ke sana kemari untuk membantu mereka.

Ah, kalau begini sih bukan kerja rodi lagi namanya, tapi sudah bisa dikatakan kerja romusha. Lebih sadis pokoknya.

"Sean lampu di dapur mati. Benerin" titah Amaya yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu dapur.

Tak!

Sean pun menjatuhkan sapu ke lantai saking kesalnya. "Kan ada Mas Dean Amaya anjing. Gue mulu buset" pekik Sean. Saking seringnya disuruh-suruh, tugas Sean yang seharusnya menyapu lantai tidak kunjung usai. Pasang tabung gas lah, pindahkan pot tanaman lah, merubah posisi meja lah, dan sekarang dia dititah mengganti lampu yang mati. Tidak salah kan kalau Sean merasa dirinya babu betulan?

Amaya menatap datar ke arah Sean yang mencak-mencak tidak jelas di sana, "protes mulu lo. Mas Dean tuh belum balik" katanya dengan nada suara datar.

"Lama bener. Belanja apa pacaran sih" gerutu Sean emosi bukan main karena Kakaknya itu belum juga kembali ke kafe. Sehingga dirinya yang notabenenya pria satu-satunya di sini, mau tidak mau harus menanggung beban yang berat, segala lampu mati saja harus dia yang membetulkan.

Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Sean pun langsung bergerak ke dapur untuk memasang lampu. "Nyapu tuh lanjutin" katanya menitah Amaya begitu ia berpapasan dengan Amaya.

Amaya pun langsung berdecak pelan karena titah Sean yang berhasil membuatnya sedikit kesal, meskipun setelahnya Amaya langsung bergerak mengambil sapu yang Sean jatuhkan tadi untuk dia lanjutkan menyapu kafe sebelum kafe dibuka nantinya. Ya, kemungkinan sih kafe akan dibuka ketika Dean dan Rin pulang dari kegiatan berbelanja. Tentu saja, mengingat menu utama di kafe ini kan kopi, dan satu-satunya orang yang bisa meracik kopi dengan baik adalah Dean. Agak mustahil kalau kafe buka tanpa adanya Dean di kafe.

"Lah kok nggak jalan jalan?" Ucap Sean dengan tatapan bingungnya pasca dia memasang lampu dapur dengan lampu baru yang Desi berikan padanya, sisa stok yang Dean beli beberapa Minggu kemarin. Sean pun menggaruk kepalanya dengan frustasi lalu melemparkan lampu baru itu ke tong sampah, sepertinya lampu itu sudah rusak meskipun baru.

"Nggak jalan ya Sen?" Tanya Desi.

Sean menganggukkan kepalanya dengan malas. Kemudian Sean pun turun dari atas meja dan bergerak keluar dari dapur.

Mendengar suara pintu yang dibuka, atensi Amaya kemudian tertuju ke arah sumber suara, "Udah?"

Sean melirik sinis ke arah Amaya yang menurutnya super cerewet. Lihat saja bagaimana dirinya yang baru keluar dapur tapi sudah ditodong pertanyaan seperti itu. Tidak sabaran sekali memang. "belum Ay. Lu cerewet amat ya"

"Nanya doang elah" ucap Amaya dengan malas. Sean sensitif sekali sih. Padahal kan dia hanya bertanya mengingat Sean itu kan sangat tidak bisa diandalkan, di mana kadangkala dia kabur dari tanggungjawabnya.

Sean menghela napasnya keras. Bisa-bisanya pagi-pagi begini Sean sudah dibuat lelah begini oleh segala sikap Amaya dan tugas yang super menumpuk. Dia pun berjalan sampai ke belakang meja kasir dan membuka mesin kasir, di mana biasanya Rin simpan beberapanya di sana untuk stok uang kembalian. Sean mengambil uang tiga puluh ribu dengan pecahan sepuluh ribuan dan lima ribuan untuk membeli lampu, lalu ia beranjak dari meja kasir.

"Mau beli lampu dulu gue" ujar Sean pada Amaya lalu dia berjalan keluar dari kafe sebelum mendapatkan balasan dari Amaya. Memang tidak butuh balasan juga sih karena dia memberitahu Amaya hanya agar Amaya tidak berkata ini itu padanya. Telinga Sean pengang karena sejak tadi pagi dicekoki oleh suara Amaya.

Attakai Café (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang