35. Kebahagiaan yang adil

47 14 4
                                    

Krincing~

Sean membuka pintu utama kafe milik kakaknya ini tepat pada pukul tujuh malam. Manik matanya menyorot penuh kebingungan ketika dirinya di sapa oleh keheningan. Kafe benar-benar sudah dalam keadaan sesepi ini, tidak ada Desi, Rin apalagi Dean, pun kafe terlihat lebih rapi seperti baru saja dibereskan. Kondisi ini benar-benar mirip seperti saat kafe sudah tutup.

Sean menggulirkan bola matanya ke arah pintu kafe, melirik papan yang menggantung di sana. Dan benar saja,  tanda 'open' sudah berganti menjadi tanda 'closed'. Kafe tutup lebih awal ternyata.

Apa Dean sengaja menutup kafe lebih awal karena permasalahannya dengan Sean tadi?

Sean menggulirkan bola matanya ke arah tangga yang terletak di sudut kafe ini. Dia menghela napasnya sejenak sebelum melangkahkan kakinya masuk semakin jauh ke dalam kafe, sembari membawa plastik putih berisi makanan yang sempat dia beli bersama Amaya tadi.

Amaya sendiri sudah pulang atas permintaan dari Sean. Ah, tidak tidak, Sean bukannya mengusir Amaya karena Amaya yang berhasil menjahilinya sampai kesal dengan menjadikan ponselnya sebagai objek kejahilannya. Sekali lagi tidak. Sean benar-benar hanya ingin menyelesaikan permasalahannya dengan Dean hanya berdua saja, dia tidak mau melibatkan siapapun lagi, makannya dia meminta Amaya untuk pulang saja ke rumahnya dan tidak perlu terlalu khawatir dengan hubungan Sean dan Dean.

Ya, bagi Sean penjelasan Dean yang direkam oleh Desi sudah sangat jelas, tanpa memberikan kesalahpahaman lagi untuk Sean sehingga kemungkinan besar mereka tidak akan terlibat dengan yang namanya keributan lagi apabila saling bertatap muka.

Bisa dikatakan sekarang ini emosi Sean tidak semeledak sebelumnya, bahkan mungkin sudah tidak ada lagi amarah itu dihati Sean. Meskipun begitu, Sean tidak bisa memungkiri bahwa dia masih merasakan perasaan yang mengganjal di dirinya. Dan ya, satu-satunya cara untuk menghilangkan perasaan itu yaitu dengan membicarakannya langsung dengan Dean, sesuai dengan cara yang Amaya sampaikan kepadanya ketika mereka dalam perjalanan menuju ke kafe.

Tentu saja saat itu Sean merasa cukup ragu ia mampu menyelesaikan semua permasalahannya dengan Dean. Namun atas dukungan Amaya bahkan Amaya sempat menawarkan diri untuk menemani Sean, Sean akhirnya berani mengambil tindakan.

Itulah kenapa Sean memutuskan untuk tidak makan berdua bersama Amaya ketika Amaya sempat mengajaknya makan. Sean lebih memilih untuk segera kembali ke kafe dan menyelesaikan apa yang harus dia selesaikan.

Cklek!

Perlahan Sean membuka pintu utama rumah mereka.

Ia lantas mengerutkan keningnya dalam-dalam saat melihat keadaan di ruang utama rumahnya yang benar-benar gelap, hanya disinari oleh cahaya yang menyusup dari area balkon yang pintunya dibiarkan terbuka lebar, sehingga wajar dari posisinya ini Sean bisa merasakan hembusan angin malam yang terasa cukup dingin, bahkan gorden putih yang biasanya menutupi pintu balkon tampak bergerak tidak beraturan karenanya.

Sean mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali saat samar-samar dia melihat presensi seorang pria yang berdiri di area balkon.

Sean melangkahkan kakinya sampai ke belakang pintu balkon, dia menyibak gorden tersebut, sehingga bisa membuatnya melihat dengan jelas punggung tegap dari sosok pria tersebut yang sibuk menatap langit malam yang lebih gelap dari biasanya. Entah apa yang sedang ia lakukan di sana, namun Sean yakin dia sudah berdiam diri di sana selama berpuluh-puluh menit lamanya.

Sean melangkahkan kakinya ke depan. Kemudian dia menghentikan langkahnya tepat di belakang pagar pembatas balkon, tepat di sisi kanan Dean. Tanpa repot-repot melirik Dean, dia hanya sibuk menaruh plastik putih yang ia bawa sejak tadi itu ke atas puncak pembatas balkon.

Attakai Café (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang