28. Healing

52 13 6
                                    

Amaya berjalan keluar dari pintu gerbang sekolah sembari memegangi ponselnya. Dia tampak membuka roomchat-nya dengan Sean kemudian mengetikkan sesuatu di sana. Isinya sih hanya pesan singkat yang meminta Sean untuk bertemu dengannya.

Ya, kejadian tadi pagi memang cukup mengejutkan bagi Amaya. Sampai-sampai dia merasa cukup terusik sepanjang kegiatan sekolah. Jujur saja Amaya merasa tidak sabar ingin segera membicarakannya berdua bersama Sean.

Memang sih dia bisa memberitahukan semuanya pada Sean lewat ponsel, entah itu dengan cara berkirim pesan atau via telepon, tapi Amaya rasa berbicara langsung lebih baik. Lagipula hanya dengan cara seperti itulah Amaya bisa langsung melihat reaksi Sean dan bertukar pikiran dengan Sean tanpa hambatan.

"Shtt Ay"

Amaya yang baru saja keluar dari pintu gerbang sekolahnya secara otomatis menghentikan langkahnya seketika. Dia mengerutkan keningnya dalam-dalam saat mendengar suara Sean. Ah bukan, bukan karena Amaya mendadak hafal suara Sean, melainkan karena panggilan yang dilontarkan sosok tersebut yang mengingatkannya pada Sean.

Sepanjang Amaya hidup, hanya Sean lah seseorang yang memanggilnya dengan cara ambigu seperti itu. Dulu sih Amaya risih, karena sekalipun dia jomblo sejak lahir Amaya tidak sudi juga diejek oleh Sean dengan cara seperti itu, tapi lama kelamaan dia mulai terbiasa dan malah merasa kurang jika satu hari saja dia tidak mendengar panggilan itu.

Bukankah secara otomatis Amaya merasa kurang jika satu hari saja dia tidak bertemu Sean? Karena panggilan itu kan hanya dilontarkan oleh Sean.

Entahlah, Amaya tidak bisa juga menjawabnya dengan lugas. Rasanya agak aneh saja jika dia membuat pernyataan seperti itu sementara sejak awal dia dan Sean sudah terkenal sebagai dua orang yang hobi sekali ribut.

"Jih bengong. Ay!"

Amaya pun langsung membalikkan badannya dalam tempo cepat. Dan benar saja, dia pun menemukan seonggok manusia unfaedah yang bersandar pada salah satu pilar yang mengapit pintu gerbang sekolahnya, masih lengkap dengan seragam sekolahnya yang tentu saja berbeda dengan seragam yang Amaya kenakan.

Amaya pun menatap kembali ke arah ponselnya, melihat kotak 'mengetik pesan' yang berisi deretan kata yang sebelumnya dia ketik. Satu yang pasti, pesan itu belum sempat Amaya kirim.

"Lo kok bisa ada di sini sih? Gue belum kirim pesan loh" katanya sembari menunjukkan layar ponselnya pada Sean, menunjukkan dengan jelas bahwa pesan itu belum sempat terkirim tapi Sean bahkan sudah ada di depan sekolahnya.

Sean sempat mengusap tengkuknya malu saat melihat layar ponsel Amaya. Tepatnya sih karena satu tanda di atas kotak 'mengetik pesan' tersebut. Ya, tanda berapa lama dia dan Amaya ber-video call ria tadi malam.

Melihat respon Amaya yang cenderung santai, kemungkinan besar Amaya tidak ingat soal semalam, bahkan dia bisa saja menganggapnya sebatas mimpi belaka. Tapi yang perlu diperjelas adalah fakta bahwa Sean bisa mengingatnya dengan jelas. Mulai dari pembicaraan mereka yang awalnya membahas soal misi mereka, sampai akhirnya berujung pada ucapan selamat yang Amaya utarakan padanya. Bahwa katanya Sean resmi menjadi teman pertama Amaya. Setelah itu Amaya ketiduran, dan mungkin dia tidak sadar bahwa dia tidur dengan Sean yang menatapnya berpuluh-puluh menit dari seberangnya.

Entahlah, Sean suka saja melihat wajah tenang Amaya saat dia tertidur. Menurutnya Amaya sangat manis. Mengingatkan Sean pula pada semburat kemerahan yang samar-samar muncul di pipi gembil Amaya sebelumnya. Sean tahu, penyebabnya pasti karena Amaya malu ketika mengklaimnya sebagai teman pertamanya, terlebih saat itu Sean tidak benar-benar serius merasa dirinya pantas menjadi teman Amaya. Momen itu terlalu tiba-tiba, intensitas rasa malu itu pasti sebesar itu. Yang jelas, semburat kemerahan itu membuat Sean menyadari betul bahwa Amaya tidak bercanda dengan segala perkataannya.

Attakai Café (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang