Chapter 11. Serpihan Memori

37 24 2
                                    

Terbunuh Berkali-kali Namun Tak Kunjung Mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terbunuh Berkali-kali
Namun Tak Kunjung Mati

****○•○•○•○****

"Pelakor!"

"Ngapain sih dia lewat sini!"

"Aduh, sakit mataku ngeliat dia!"

Wanita yang berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah dengan ragu kala mendengar caci maki yang terlontar. Segera ia menarik napasnya dalam, dengan genggaman tangan yang kuat sembari mengingat anaknya, wanita itu dengan pasti melangkah menuju warung depan. Di sana ia celingak-celinguk melihat seisi bungkus makanan yang tersedia.

"HEI, MAU NGAPAIN KAMU!"

Sontak wanita itu kaget dan sedikit menjauhkan raganya pada pembatas tempat makanan di sana. Ia melihat mata penjual itu sudah terlebih dahulu tersulut emosi.

"Kamu mau nyuri ya!!"

Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Enggak buk, saya di sini mau beli beras." Ia merogoh sakunya dan menyerahkan uang sebesar dua belas ribu kepada penjualnya. Lantas penjual itu menyambar dengan kasar uang dari wanita itu.

Dengan emosi penjual itu menimbang beras seraya menatap wanita itu tajam. Mulutnya komat-kamit layaknya sedang mencemooh dengan pelan. Setelah membungkus, penjual itu menyerahkan berasnya pada wanita di depannya.

"Kok sedikit buk."

"Emang kamu mengharapkan apa dari dua belas ribu!"

"Biasanya tetangga yang lain dapat setengah kilo."

"Gak ada gak ada! Sana, masih untung aku kasih," penjual itu mengibas-ngibaskan tangannya mengusir wanita itu.

Wanita itu berjalan sembari menggenggam sebungkus beras yang isinya hanya berkisar dua genggam tangan. Dan lagi, setiap ia melewati rumah-rumah para tetangga, caci maki itu kembali terdengar. Tak tahan, ia berlari dengan menutup satu telinganya.

Wanita itu membanting pintu kala ia sudah tiba dikediamannya. Ia mengatur napasnya yang tersenggal-senggal seraya berjalan hendak memasakkan hidangan kepada sang buah hati. Wanita itu membuka laci dapur, menggeledah apakah ada sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai bahan masakan. Namun nihil, yang hanya ia temukan adalah secuil garam pada plastik kecil.

"Ma ... mama udah pulang."

Wanita itu menoleh kebelakang kala suara kecil nan manis memanggilnya. "Kenapa sayang? Kamu pasti lapar, ya?" Wanita itu menggendong sang buah hati, ia mendekap anaknya yang baru saja terbangun dari tidurnya.

Hidup Itu Luka  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang