Aku terbangun dari tidurku dan matahari sudah terbit menerang. Mataku terbuka lebar dan mendapati diriku sudah terbaring di atas ranjang putih, juga dengan selimut.
" Lisa?"
Lisa yang sedang bersiap-siap dengan baju seragam sekolah juga make up tipis di wajahnya. Sungguh hal yang menakjubkan jika melihat dia merias dirinya setiap hari saat mataku terbuka dari tidur panjang dan mendapati pemandangan manis.
" 5 menit, ku tunggu di bawah." Ucap Lisa sebelum akhirnya turun dengan tas ransel hitam yang di pakainya.
Aku pun membelalakkan mataku, sekolah? Dengan terburu-buru aku berlari menuju kamar mandi.
________
POV Lisa:
Aku menunggu Jennie sembari memakan roti, dan juga susu coklat hangat yang ku minum. Mataku terus berfokus membaca majalah tentang tentang Forbez / cerita-cerita tentang miliarder / orang sukses di sana.
Sungguh sangat menarik membaca hal-hal seperti ini. Memberikan otak sensasi fresh, aku menyukainya, dan juga..... Aku menyukainya.
Pandanganku perlahan teralih mendengar suara terburu-buru yang sangat ceroboh. Aku melihat Jennie yang sedang mencek buku-buku di dalam tasnya dengan sangat terburu. Melihat tampilan berantakannya yang beda dari hari-hari biasanya, sepertinya karena dia telat bangun.
Tanpa sadar senyuman terbit di bibirku, ini adalah hal yang biasa namun dengan cepat aku yang sadar langsung kembali membaca majalah di tanganku dengan serius.
" Aishh... Aku tak punya buku tulis kosong untuk pelajaran lain.... Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bisa gila hari ini." Keluh Jennie.
Aku yang mendengarnya pun menutupi seluruh wajahku dengan majalah, sangat lucu mendengarnya. Tetap saja itu memberikan sensasi kupu-kupu di dalam perutku.
" Lisa, jangan terlalu serius membaca majalah itu. Yang menjadi prioritas mu aku atau dia?" Protes Jennie yang memang tidak suka di duakan.
Aku pun menurunkan majalah itu dan menatap matanya.
" Kita belum menikah, kau belumlah menjadi prioritasku." Balasku, walau berbeda dengan hatiku yang berbunga mendengarkan apa yang baru saja Jennie katakan. Bagaimana pun juga aku adalah remaja yang bisa merasakan jatuh cinta walau sulit mengekspresikannya. Aku pikir menunjukkan cinta seperti yang di lakukan Jennie adalah suatu hal yang menurunkan harga diri.
" Tapi kan tetap saja kau akan menikahiku nanti." Rengeknya.
Aku yang mendengarnya pun merasa mati rasa. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Nada bicaranya terdengar sangat menggemaskan di telingaku.
" Tapi kan sekarang belum." Aku tetap tak mau mengalah. Enak saja.
" Kita bisa menikah besok, atau hari ini jika itu membuatku menjadi prioritasmu." Jennie serius.
" Aku tak mau menikah sebelum menghasilkan uang, ingat itu." Tekanku.
Jennie pun terdiam.
Aku tahu jika dia sedih mendengarkannya. Tapi Aisshhh... Aku selalu menyalahkan diriku saat melihat wajah sedih itu.
" Sarapan cepat." Perintahku agar Jennie tak berlama-lama menunjukkan ekspresi terluka itu.
" Tak mau. Aku takkan mau sarapan, titik." Jennie berkata sembari menyilangkan kedua tangannya di dada. Kalau begini sudah jelas jika dia sedang ngambek / badmood.
" Mamamu akan marah jika tahu aku tidak memberikanmu sarapan." Ujarku mencari alasan. Mama Jennie memang sangat protektif, tapi terkadang aku melebihkannya agar selalu dekat dengan Jennie. Seperti halnya yang ku lakukan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Konglomerat, Jenlisa
Hài hướcGenre: Comedy, Romansa, Misteri. Deskripsi: Jennie Kim, anak dari Konglomerat nomor satu Asia. Menjadi orang kaya tidak membuat Jennie Kim menjadi sombong namun malah berbeda, dia ingin hidup mandiri, belajar seperti mandirinya kedua orang tuanya ya...