Pemakaman dan Pinangan

1 0 0
                                    

11-Mei-2011, 05.45

Sebelum matahari terbit pagi itu, aku sudah tiba memarkirkan motorku di panti wreda. Aku memang terbiasa bangun pagi-pagi sejak duduk di bangku SMP, karena aku tahu aku bukan orang yang luar biasa pintar, jadi setidaknya aku bisa mengusahakan untuk mulai lebih awal segala hal yang kubisa.

Windarti terlihat mengatur Solihin, Yana, Dimas, Rama, Fadly dan beberapa orang yang tak kukenal untuk memasang tenda dan menata kursi berjejer di sekitar bangunan.

Di ruang makan, aku menemui beberapa orang yang sudah bersiap untuk sarapan pagi, sekedar berbasa-basi sambil menikmati minuman dan makanan panas. Tapi aku belum melihat Dewi atau Agatha, mungkin mereka masih di dalam kamar. Malam tadi Agatha menemani Dewi.

"Pagi, Dokter," suara Indra menyapaku dari arah belakang. Aku berbalik, dan membalas, "Pagi, Dokter." Lalu kami duduk sebelahan.
"Kau sudah melihat hasil visum Lukman?" tanya Indra.
"Belum, Dok." jawabku. Aku selalu memanggil 'dokter' pada Indra, selain pada penghormatan terhadap profesinya, itu juga menyenangkan untuk memiliki rekan sejawat di tempat ini.
"Berapa lama kau observasi jenazahnya kemarin?" tanya indra.
"8 menit kurang lebih."
"Luka?"
"5cm."
"Rusuk IV?"
"Rusuk V."
"Trauma?"
"Leher, arteri karotid. Wajah, Os. Zygomaticum. Lengan kanan, metakarpal II dan III." Jawabku, memberitahunya memar yang terlihat dari luar ada di leher kiri-kanan, tulang pipi kanan, jari telunjuk, dan jari tengah. Fakta medis pada dasarnya adalah sebuah kerahasiaan antara dokter dan pasien, atau dokter dengan keluarga pasien, tapi Indra telah kuanggap sebagai dokter senior dan aku sedang berkonsultasi dengannya.
Indra mengangguk, "sebaiknya kau lihat Dewi," sambil menunjuk ke kamar yang digunakan Agatha dan Dewi.

Sebelum aku berdiri, pintu kamar itu terbuka dan Dewi berjalan keluar. Wajahnya terlihat lebih segar, walaupun matanya terlihat bengkak dari biasanya. Aku mencium pipinya. Dan Robert terlihat mengikutinya sambil mendorong kursi roda Agatha. Tampaknya Robert melewati malam di sini bersama neneknya.

Aku mencium pipi Agatha dan mengangguk pada Robert, lalu kembali duduk di sebelah Indra. Dewi terlihat menyapa hampir setiap orang di ruang makan ini, termasuk Marwoto dan Ana, dua juru masak kami,

"Dia sudah hampir memasuki tahap lima, good, very good indeed." Kata Indra, mengacu pada lima Tahap Penerimaan setelah kesedihan dan kehilangan, Penyangkalan; Amarah; Tawar menawar; Depresi; dan Penerimaan. "Kita perlu berterima kasih pada Agatha dan cucunya itu."
"Robert, Dok. Nama cucunya Robert." jawabku.
"Ya, Robert."

"Suasana pagi seperti ini apakah biasa, Dok? Mengingat 24 jam yang lalu ada yang terbunuh di sini." Tanyaku agak berbisik pada Indra.
"Kurang lebih sama seperti biasa," jawabnya.

"Maaf, Dok. Kurasa Dokter perlu meminjam lagi mainan motor-motoran beroda empat dari temanmu. Pak Ronny perlu meluruskan tulang belakangnya. Bu Agatha yang menceritakan kemampuan mainanmu itu." Kataku sambil tersenyum.
"Ya, setuju. Kau perlu hasil USG kapan?"
"Secepatnya."

Indra menolehkan kepalanya kepadaku, dari balik kacamata tebalnya ia menatapku tajam, "dugaanmu si bodat itu ada di bawah?" Tanyanya, dan aku mengangguk.
"Bahkan saat ini?" Tanyanya lagi, dan aku mengangguk lagi.

"Kuharap kalian berdua tidak sedang ngomong jorok." Kata suara dari arah belakang kami, dan kami berdua menoleh secara bersamaan. Ronny Manusama berjalan ke arah kami sambil tersenyum lebar memperlihatkan gusi kebanggaannya, lalu duduk di sebelah Indra. 'Ngomong jorok' yang dimaksud Ronny tentu saja istilah-istilah medis yang sering aku dan Indra bicarakan.
"Kau perlu mengikutkanku sesekali kalau sedang menyinggung sesuatu yang berhubungan dengan reproduksi, Dok!" Kata Ronny sambil mengedipkan kelopak mata kirinya padaku.
"Siap, Pak Ronny!" Kataku sambil melakukan gerakan hormat pada pensiunan polisi itu.

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang