Walk In Interview

20 7 0
                                        

18-September-2010

Aku tinggal bersama ibu dan ayah angkatku. Sedang anak-anakku tinggal bersama bapaknya di tempat yang lebih 'representatif' dari sisi fasilitas, akses jalan, kenyamanan sampai ke asupan nutrisi. Ibuku berusia 48 tahun. Empat tahun setelah ayah berpulang, ibu menikah lagi dengan ayah angkatku. Tentu saja aku bahagia. Anak mana yang tidak bahagia melihat ibunya bahagia? Ibu menikahi seorang duda tanpa anak.

Pada tahun 2000 ketika aku baru menjadi mahasiswa kedokteran tingkat satu, usaha ibu semakin maju, tetapi kami masih tinggal di rumah kontrakan. Dari sisi ekonomi kami sangat terbantu oleh beasiswa penuh yang kudapatkan, termasuk uang transpor dan uang saku.
Hingga selesai gelar profesiku di tahun 2009, aku mendapatkan begitu banyak kemudahan. Nilaiku pun tidak jelek-jelek amat. Walaupun aku bukan seorang yang sangat brilian di antara teman-temanku.

Saat ini aku bekerja sebagai dokter residen di rumah sakit yang berafiliasi dengan kampus tempatku kuliah. Aku sangat menikmati pekerjaan penuh waktu ini. Berinteraksi dengan banyak orang memang menyenangkan. Seolah-olah hidupku bergerak begitu ringan tanpa hambatan berarti sejak awal masa pendidikan hingga hari ini.

Sebuah iklan panti wreda baru yang dibangun di sebuah komplek perumahan elit di barat kota menarik perhatianku. Di koran yang kubaca kemarin membutuhkan tenaga medis untuk bekerja paruh waktu. Karena ingin punya penghasilan tambahan, rencananya hari ini aku akan datang walk-in interview. Kebetulan hari ini tidak ada acara khusus. Jadi pagi ini aku menyiapkan dokumen-dokumen yang perlu kubawa nanti. Siapa tahu beruntung, kan?

Setelah mandi dan keramas aku mendapati ibu sedang menyiapkan dagangannya di dapur. "Mau ke mana libur-libur?" Tanya ibu.
"Mau melamar ke panti wreda, Bu. Lumayanlah paruh waktu. Buat nambah-nambah uang saku atau modal Ibu." Jawabku, "lagian tidak begitu merepotkan mengurus orang-orang usia lanjut."
"Hati-hati, jangan kecapekan. Nanti kamu sakit." Kata ibuku pelan.
"Oke, siap!" Jawabku sambil mencium pipinya. "Ibu mau makan apa nanti? Nanti pulangnya aku cari."
"Gak usah, makanan di rumah banyak." Makanan jualan ibu memang juga menjadi makanan sehari-hari kami bertiga di rumah. Lagian baru seminggu yang lalu adalah hari raya Idul Fitri, jadi persediaan makanan di rumah cukup banyak.

Aku keluar dari rumah mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda dan jaket kulit usang produksi Garut, celana kain hitam, sepatu tanpa hak. Dari dulu aku memang tidak menyukai sepatu hak tinggi, kecuali di saat-saat tertentu. Lagian, aku mau melamar pekerjaan, bukan mau menggoda seseorang, dan rias wajahku pun seadanya saja.

Encuy tetangga depan rumah yang berusia enam puluh tahun sedang menggendong cucu laki-lakinya yang berumur setahun ketika aku memakai helm dan menyalakan motor Honda Supra-ku. "Mau ka mana, neng dokter?" katanya sambil sumringah.
"Jalan-jalan Bu Encuy, ya kali ketemu cowo ganteng di trotoar depan!" jawabku sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan sambil memulai manuver pendakian menuju jalan besar.
Ya, cowo-cowo ganteng lima puluh tahun yang lalu.

Satu jam berlalu, berkat keajaiban dunia bernama Global Positioning System, aku sampai di lokasi dengan luas halaman yang membuatku terkesan. Di depan gedung besar panti wreda, aku melihat papan nama "Panti Wreda Matahari Unggul" dengan huruf ekstra besar yang sepertinya baru dipasang. Puluhan orang duduk di kursi plastik yang disediakan, sepertinya mereka semua juga pelamar sepertiku. Dari iklannya memang membutuhkan beberapa perawat pria, perawat wanita, dan juga dokter.

"Selamat pagi, Pak," sapaku pada seorang pria yang duduk di balik meja, sepertinya dia adalah di bagian pendaftaran para pelamar. "Saya melihat iklan di...," belum selesai kalimatku, dia menyodorkan selembar kertas sambil berkata, "silakan diisi dulu, ya." Dan kuterima dengan senyum. Lalu aku duduk di salah satu kursi plastik dan mulai mengisi semacam lembaran kuisioner itu. Lalu kuserahkan kembali bersamaan dengan dua rangkap fotokopi dokumen-dokumen persyaratan ke pria tadi.

Setelah satu setengah jam menunggu, namaku dipanggil. Aku diarahkan ke sebuah ruangan dengan empat orang duduk di balik meja panjang dengan beberapa lembar kertas, sepertinya sih riwayat hidup, dokumen-dokumen yang tadi sudah kumasukkan bersamaan dengan lembar isian.
"Selamat pagi, terima kasih sudah hadir di sini. Perkenalkan nama saya Windarti, dan tiga rekan saya di sini mewakili Matahari Unggul. Kami cukup terkesan dengan profil Anda. Pernah bekerja di panti wreda sebelumnya?" tanya seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah yang bertindak sebagai ketua tim kecil empat orang perekrut. "Karena jika melihat dari rentang waktu pengalaman Anda, belum pernah khusus di panti wreda." Tambahnya.
"Benar, Bu. Setahun terakhir saya bekerja di rumah sakit sebagai dokter residen, sambil melanjutkan pendidikan spesialis saya. Dan saya secara khusus belum pernah bekerja di panti wreda." Jawabku.
"Mengapa Anda memilih menjadi dokter" Tanya pria paling ujung sebelah kanan.
"Saya ingin membantu orang kurang mampu yang sedang sakit, Pak. Karena saya mengalami sulitnya akses kesehatan untuk almarhum ayah saya karena keterbatasan dana kami waktu itu." Jawabku bersungguh-sungguh, "dan pengalaman itu saya harap tidak dialami oleh orang lain. Setidaknya ketika situasi itu terjadi di sepengetahuan saya dan saya berada di tempat dan waktu yang berdekatan."
"Layanan kesehatan layak didapatkan oleh semua orang. Moralitas tenaga kesehatan benar-benar teruji di saat-saat seperti itu. Dan secara umum, perlu andil lembaga negara untuk menjamin," tambahku.

"Oke, apa yang sudah Anda lakukan untuk wujudkan itu?" Tanya pria dengan suara bariton di sebelah kiri Windarti. "Karena Anda saat ini terikat dengan institusi rumah sakit."
Aku menjawab, "di luar jam kerja saya di rumah sakit, saya membuka pemeriksaan kesehatan gratis di lingkungan tempat saya tinggal, atau di komunitas saya yang lain di beberapa lokasi."
"Saya sadar, beban tugas saya di rumah sakit memang cukup berat. Tapi idealisme walau kecil, layak diperjuangkan," tambahku.

"Jika Anda diterima di panti ini dengan tugas paruh waktu, apakah tidak mengganggu?" Tanya Windarti.
"Saya akan mengusahakan untuk mengatur jadwal dan melaksanakan tugas-tugas saya, Bu."

Tanyajawab berlangsung sekitar dua puluh menit. Kemudian aku dipersilakan pulang,mereka akan memutuskan dan memberitahu hasilnya kepadaku paling lambat seminggukemudian.
Ketika aku sedang berjalan menuju pintu ruangan, pria yang duduk di kursipaling kiri, yang selama ini diam saja, berkata sambil tersenyum, "jikaAnda diterima bekerja di tempat ini, Anda mungkin akan cukup beruntung untukbertemu dengan orang yang memberi beasiswa penuh pendidikan profesimu."

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang