Dokter Muda

21 5 0
                                    

15-September-2010

Jalanan menuju rumah kontrakan kami memang kecil, di daerah perbukitan sekitar Cihampelas, kota Bandung. Hanya cukup untuk satu kendaraan roda dua, itupun akan repot dan menyebalkan jika berpapasan, diperparah dengan kondisi jalan yang menanjak cukup curam. Rem blong? Jangan coba-coba memasuki kawasan ini, jika tidak ingin berakhir dengan tersangkut di pagar tetangga, masuk selokan, dan menjadi bahan tertawaan kami. Keadaan akan menjadi lebih menantang jika musim hujan tiba, karena akan becek dan licin. Terlebih ketika sedang hujan lebat. Kau akan membutuhkan lebih dari keberanian dan keahlian dalam mengendalikan kendaraan roda dua atau sepeda, untuk menempuh perjalanan dari rumahku menuju jalan besar. Jika kau berhasil mencapai jalan besar di atas sana dengan selamat tanpa menurunkan kakimu dari pedal, mungkin akan ada pencari bakat yang merekrutmu untuk masuk ke kelompok sirkus atraksinya. Kira-kira begitulah kondisi menyenangkan di sekitar rumahku ketika hujan lebat.
Sesekali kami pun butuh hiburan bukan? Walaupun dalam bentuk orang yang lecet dan sedang berusaha mengeluarkan roda kendaraannya dari selokan. Kadang warga sini ikut membantu mengangkat sepeda motor yang roda depan atau belakangnya masuk ke selokan. Tapi lebih sering kami hanya melihat tanpa ekspresi sambil menghisap dalam-dalam rokok lintingan yang murah-meriah, padahal dalam hati kami cukup terhibur dengan kecelakaan-kecelakaan kecil itu.

Sesekali kami pun butuh hiburan bukan?
Padahal sudah ada tulisan 'Hati-hati! Jalan menurun curam dan licin. Jangan masuk ketika hujan! Kecuali Anda Valentino Rossi' di gapura depan lorongku. Seperti sebuah judul berita tabloid kriminal ibu kota yang terkenal dengan nama seperti rambu jalan itu. Padahal Valentino Rossi pun kuperkirakan akan bernasib sama dan berakhir di selokan depan rumahku. Cobalah sesekali jika kau punya nyali.

Saat yang paling menyenangkan adalah ketika hujan lebat terjadi dalam waktu lebih dari tiga jam. Kau akan melihat lingkungan rumahku menjadi kolam keruh dengan ketinggian air mencapai pinggang di dalam rumah. Bahkan rumah tetangga kami kemasukkan air dengan ketinggian yang mencapai leher orang dewasa di ruang tamunya. Hebatnya lagi beberapa hewan melata sewaktu-waktu tampak berenang di permukaan air, atau mengelus betis-betis kami, jika berdiri di ruang tamu pada saat debit air tertinggi. Jadi rumah dengan lantai lebih dari satu adalah syarat wajib jika ingin bertahan hidup di lingkungan ini.

Kami sungguh beruntung! Tidak perlu membayar untuk berenang di pusat kebugaran atau bersenang-senang di kebun binatang kota yang harganya nyaris setara dengan dua porsi nasi padang di warung sebelah.
Kadang kau harus iri pada kami.
Serius!

Sebagai seorang dokter muda, yang untuk mencapainya merupakan keajaiban kosmik terbesar (setidaknya buatku pribadi), adalah semacam mimpi di siang bolong dengan posisi miring. Anugerah yang tiada terkira! Aku ingat sembilan tahun yang lalu, ketika secara mengejutkan aku bisa lolos fakultas kedokteran di sebuah universitas di Bandung dengan beasiswa penuh. Teman SMA, atau teman-teman sepermainanku banyak yang terheran-heran daripada yang memberi selamat. Seolah-olah aku ini adalah orang aneh dengan dua belas jari atau manusia setengah gurita dengan sembilan lengan. Ucapan selamat mereka pun bervariasi, dari high-five, pelukan hangat, cubitan pipi, tapi yang paling banyak adalah dengan toyor, menjitak, atau menjambak rambutku. Bagaimana tidak? Aku tidak berasal dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai pada jenjang pendidikan sarjana, apalagi menjadi seorang dokter. Masa sekolah menengahku pun terbilang biasa-biasa saja. Waktu luang di masa itu lebih sering kuhabiskan dengan nongkrong dengan teman-teman di pinggir jalan, merokok, atau sesekali kami menenggak alkohol curah oplosan yang bisa didapatkan dengan harga murah.

"Lu bisa-bisanya masuk situ, jalur apa?" tanya seorang temanku waktu itu.
"Jalur prestasi mengedipkan mata!" jawabku sekenanya sambil terkekeh dan memperlihatkan sebagian besar gigiku, sambil mengangkat bahu dan membakar rokok.
Pertanyaan senada sering kuterima dari teman-teman dekat. Dan jawaban yang kuberikan juga lebih sering berasal dari mulut dan pangkal lidah daripada menggunakan isi kepala.

Di tahun 1998, ketika kondisi kesehatan ayah mulai menurun, ditambah dengan keadaan beliau mengalami PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, ayah menjual rumah kami dan mengontrak di sini. Ayah adalah pegawai kontrak yang tidak mendapatkan pesangon ketika di-PHK, tidak juga dengan tunjangan bulanan pensiun. Ketika itu aku baru lulus SMP. Uang dari hasil penjualan rumah sebagian besar digunakan untuk berobat ayah.
Mahal?
Ya, sangat mahal.

Mungkin akulah orang yang secara telepatik memasuki kepala Eko Prasetyo sampai dia menulis sebuah buku berjudul 'Orang Miskin Dilarang Sakit' di tahun 2004.

Ayah minta pulang ke rumah di saat pengobatannya belum selesai. "Nanti Ayah berobat jalan saja," katanya. Mungkin dia bisa menahan rasa sakit di dalam badannya, tapi tidak dengan rasa sakit yang ditimbulkan keadaan jika istri dan anak satu-satunya kelaparan. Sebagian uang hasil penjualan rumah, ayah hanya berkata, "Untuk modal usaha kita," dengan wajah datarnya. Seolah-olah, penyakitnya menjadi prioritas ke sekian dan bisa diabaikan, atau dia menganggap sakitnya seperti koreng kecil di lutut kanannya. Sepertinya dia mulai kebal terhadap rasa sakit, atau ayah terlalu sakti untuk dikalahkan oleh penyakitnya.

Ibu memutuskan untuk membuka usaha sendiri supaya kami bisa makan dan melanjutkan hidup. Sambil kami mengurus ayah dengan berobat jalan di rumah. Dari berjualan pakaian, makanan jadi yang dititipkan ke warung-warung, mainan anak, taplak meja, kue kering, sampai bibit tanaman. Semua dilakukan ibuku yang tetap terlihat sangat cantik walau telah berusia lanjut dan selalu menjadi primadona di mata tetangga lelaki kami jika dia sedang melintas. Terlalu sering ibu menerima catcalling atau celetukan mesum dari para pemilik bibir yang gatal minta digaruk. Dan aku dengan senang hati akan menggaruk bibir mereka menggunakan ujung pisau dapur kami yang tumpul dan berkarat.

Sepulang sekolah aku membantu ibu, atau menjaga ayah jika ibu harus keluar rumah mengantarkan pesanan. Untung dengan modal pertemanan dan sebuah telepon genggam butut, usaha kami cukup untuk menutup biaya sekolahku, membayar uang sewa kontrakan, dan membeli obat ayah.

Dua bulan setelah berobat jalan, ayah berpulang, setelah satu minggu sebelumnya kami mendapatinya pingsan di pagi hari dan telah memasuki tahap koma. Tidak perlu kuceritakan secara detail apa saja 'kesenangan' yang kami alami di minggu terakhir ayah. Dari perawatan dengan kelas kambing, kualitas obat-obatan yang ayah dapat, penanganan medis yang secara valuasi seperti balapan antara harganya dan jumlah uang yang ada di dompet ibu, ditambah banjir.

Saat itu aku menemukan sebuah tujuan kecil ke mana aku akan melangkah.

Pada tahun 2009, aku berhasil memperoleh gelar profesiku. Bahagia? Jelas. Ibu terlihat sangat cantik di hari aku wisuda. Tiga orang yang tersenyum bangga, ibu dan kedua anakku. Sejak itu aku bekerja sebagai dokter residen di sebuah lembaga rumah sakit yang berafiliasi dengan kampusku.

Kau tidak bisa melawan kehendak semesta kan? Jadi ya sudah, aku berusaha menjalani hidupku dengan ringan saja.

Sampaiaku menggali kubur seseorang.

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang