Agatha Christie

16 7 0
                                    

26-September-2010

Pagi-pagi benar aku sudah melaju menuju Matahari Unggul, dan jam enam pagi sudah sampai dan disambut lambaian Solihin dan Yana dari tengah kebun di sisi depan pekarangan. Dimas, salah satu dari empat perawat sedang mempersiapkan acara olahraga pagi untuk para residen. Setelah berganti pakaian olahraga, aku lari pagi mengelilingi lintasan joging dan melalui jalan kampung yang mengelilingi komplek Matahari Unggul. Kira-kira satu jam dan tujuh kilometer kemudian, aku kembali memasuki pekarangan panti wreda dan mendapati para residen sedang berada di lapangan samping dan sedang melaksanakan senam pagi dipandu oleh Dimas diiringi irama musik dangdut. Para residen ini lebih tepat sedang berjoget daripada melakukan gerakan senam. Tapi di usia mereka gerakan-gerakan itu sudah cukup baik. Kegembiraan-kegembiraan kecil layak didapatkan siapapun dari endorfin.

Agatha yang terlihat sangat lincah bergerak memutar ke sana kemari dengan cara mendorong atau menarik roda-roda di kursi rodanya sambil tertawa. Dia melambai dan memanggil namaku ketika wajahku muncul dari ruang makan sambil membawa segelas air. Aku berjalan ke tengah-tengah mereka sambil menyapa satu per satu, dan menyodorkan gelas air kepada Agatha. "Ah... kau harus mencium pipiku dulu!" katanya sambil merentangkan tangannya dan memelukku. "Baik, tuan puteri," jawabku sambil mencium pipi kiri dan kanannya. Agatha memang orang paling periang di antara semua residen. Cerewet maksudku. Tapi semua orang dalam komplek ini menyukainya.

Setelah acara senam pagi berakhir, para residen punya waktu santai sampai jam sembilan, dan sarapan sudah tersedia. Aku mendorong kursi roda Agatha melintas perkebunan.
"Agatha Christie, ibumu pasti seorang pemuja Poirot sejati ya?" tanyaku sambil mendorong kursi rodanya. "Ha ha ha!" dia tertawa sembari bertepuk tangan, "Mama memang penggemar berat cerita detektif. Kami dua bersaudara. Kakakku seorang laki-laki. Bisa kau tebak namanya?" tanya nya sambil menoleh dan tersenyum padaku.
Kami berhenti di pinggir kolam di area belakang pekarangan, dan aku duduk di bangku beton di depan Agatha, setelah berpikir beberapa detik, aku menjawab: "Arthur?"
"Entah kau bisa membaca pikiran, atau kau memang seorang yang cerdas, atau pembaca cerita detektif seperti mamaku?" Katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya dengan raut muka serius.
"Itu deduksi sederhana, Bu. Bu Agatha lahir sekitar 1940an dan selain Agatha Christie, ada satu lagi orang inggris yang juga penulis cerita detektif terlebih dahulu. Sir Arthur Conan Doyle. Bukan suatu yang istimewa, bukan?"
Agatha tersenyum memperlihatkan gigi depannya, sambil berkata, "Aku menyukaimu."

"Jadi, siapa Poirot-mu?" tanyaku.
"Indra Pasaribu, jelas!"
"Hahaha! Sudah kuduga. Kenapa bukan Pak Ronny Manusama?"
"Ah, Ronny terlalu cepat lelah, walaupun dia bekas polisi dengan pangkat tinggi. Dia lebih cocok menjadi Sherlock Holmes yang ringkih dan mudah kelelahan jika diajak berjalan berkeliling satu putaran," jawab Agatha. "Kecerdasan Indra dan Ronny masih terlihat jelas ketika mereka berdua duduk berdua menghadap papan catur. Dan mereka seperti bercakap-cakap dengan kata-kata yang tidak bisa kita dengar ketika mereka sedang saling menatap dengan kening berkerut dalam waktu yang lama. Sebuah pemandangan yang lucu," katanya lagi.

"Kemarin Ibu bilang akan cerita pengalaman menarik dengan pintu rahasia," tanyaku.
"Coba kau lihat di belakangmu," kata Agatha sambil tersenyum.
Aku menoleh ke belakang, dan melihat kebun yang dipenuhi pohon singkong dan pisang yang tersusun rapi dengan ketinggian rata-rata dua hingga tiga meter.
"Ada apa di kebun ini?" tanyaku.
"Ayo kita ke sana!" Katanya sambil mendorong kursi rodanya menuju kebun dengan tanah merah yang cukup gembur. Aku berdiri, mengikuti, dan mendorong kursi rodanya menyusuri jalan tanah. Karena tanahnya lumayan gembur, membutuhkan tenaga cukup besar untuk mendorongnya di medan tanah gembur ini.
Kira-kira tiga puluh meter kami memasuki kebun, Agatha mengangkat tangan kirinya untuk menghentikan doronganku, lalu menunjuk ke tanah di depan kakinya. "Bisa kau gali tempat ini?" katanya sambil menoleh kepadaku.
"Menggali? Kita tidak membawa peralatan kebun, mungkin aku bisa panggilkan Pak Solihin atau Pak Yana untuk...," belum selesai kalimatku Agatha berkata dengan tenang dan tetap tersenyum, "pakai saja sepatu mu, tidak dalam kok, lagian tanahnya gembur."
Aku mengangguk dan bergerak ke depannya dan menggerakkan kaki kananku seperti gerakan menyapu tanah yang lumayan mudah untuk dipindahkan. Tiga menit kemudian sepatuku mengenai permukaan keras.
Beton!
Beton yang tertutup (atau disembunyikan) di dalam tanah, di kedalaman lima sentimeter, berbentuk lingkaran cukup besar. Aku menyapu tanah di permukaan yang keras itu dan menemukan sebuah permukaan dari besi baja berbentuk lingkaran dengan diameter satu meter, konsentis dengan bagian dalam dari beton. Di tengah-tengah lingkaran besi baja ada sebuah kotak lempeng besi tipis dengan lubang pengungkit berbentuk lingkaran diameter dua sentimeter. Kemudian aku berjongkok dan memasukkan jari telunjuk, dan mengangkat lempeng kotak itu, dan di baliknya terdapat sebuah layar plasma berukuran 1 x 7cm yang menyala ketika lempeng kotak terbuka, dan di bagian bawahnya ada tombol sebanyak dua belas dengan angka 0 – 9, tanda * dan #, pada masing-masing tombolnya. Dan di sebelah kanan tombol angka ada sebuah alat pemindai sidik jari.
Ini sebuah lubang vertikal yang ditutup dengan mekanisme canggih untuk membukanya.
Aku menoleh ke arah Agatha, "lubang apa ini?"
Agatha mengangkat kedua telapak tangannya di kiri dan kanan pundak sambil mengangkat kedua alisnya.
Setelah memerhatikan lebih teliti, di bagian atas tutup lempeng besi tipis, ada sebuah tulisan besar yang membuatku tambah bertanya-tanya:

Stasiun-001

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang