Seorang dokter wanita mendapati dirinya berada di dalam sebuah tabung kapsul dengan populasi dunia berkurang 99.91% dan permukaan air laut naik 100m.
Sebuah kejahatan yang berumur lebih dari empat setengah abad menunggu untuk diselesaikan di tengah...
Hari ini adalah peringatan satu tahun kematian Lukman Aryawinata, Aku tetap menjadi dokter di Matahari Unggul pada akhir pekan dan menjalani penuh waktuku dengan tugas belajar dari Robert untuk mengejar spesialisku. Dengan bantuan sarana dan prasarana dari UniCare, aku mampu membuat banyak penelitian yang mendukung percepatan pendidikan spesialisku. Sehingga kuperkirakan, dua atau tiga tahun ke depan, aku akan selesai.
Hari ini aku tidak menghabiskan waktu untuk belajar dan menghadap tumpukan buku, tapi pagi-pagi benar aku sudah dalam perjalanan ke Matahari Unggul. Aku ingin menghabiskan hari ini dengan berada di pantri wreda.
Setelah satu tahun, penyelidikan atas pembunuhan Lukman masih belum menemui titik terang. Tersangka pun tak ada, alih-alih menguak motif di balik kejahatan itu. Hasil 'USG bumi' yang dilakukan Indra tahun lalu pun ternyata tidak menemukan pergerakan apa-apa di fasilitas bawah tanah. Bahkan dengan akses Robert, kepolisian tidak menemukan siapapun di bawah sana.
Baru lima belas menit aku di atas motor, telepon genggamku berbunyi cukup nyaring di dalam kantong jaketku. Aku lalu menepi dan mengeluarkan telepon genggam yang masih berbunyi dengan sebuah nomor yang sedang memanggilku. Matahari Unggul.
Aku mengangkatnya. "Halo." kataku. "Bu Dokter di mana? Di rumah?" Kata suara Nur, si office girl dari seberang. "Di jalan menuju panti. Ada apa?" tanyaku. "Bu Dewi dan Bu Agatha, Dokter..." Suara Nur tercekat dan tangisnya pecah tak tertahankan. Oh shit!
Aku memacu motorku dengan kencang, dan pada jam 05.53 aku sudah tiba di panti wreda kemudian berlari memasuki pintu utama. Ronny berdiri di pintu kamar Dewi dan Agatha yang sedikit terbuka. Darinya aku dapat informasi keadaan di dalam kamar belum berubah sejak ditemukan oleh Rama si perawat tadi jam 05.22. Indra sedang berbicara dengan suara keras di telepon genggamnya.
Aku mendorong pintu menggunakan siku kanan. Pemandangan yang tidak akan kulupakan.
Dewi terbaring terlentang di tempat tidur, dengan posisi kepala menghadap jendela. Selimut masih menutupi kaki kanan, kaki kiri menjuntai ke bawah kasur. Agatha terbaring telungkup di lantai sisi kasur yang lebih dekat ke pintu tempatku berdiri. Tangan kirinya memegang salah satu besi kursi roda yang terjengkang ke belakang, dan tangan kanannya berada di bawah kasur dan tidak terlihat.
Darah yang mulai mengering memenuhi kamar di sana-sini, seprei, selimut, di tubuh Dewi bagian atas, lantai di sekitar Agatha juga terdapat genangan darah yang mulai mengering dan amat banyak terutama di bagian bawah tubuhnya, dan di lantai sekarang seakan-akan Agatha sedang melukis menggunakan darahnya sendiri, ya itu pikiran bodoh tentu saja.
Kedua wanita istimewa itu memiliki hanya satu luka: sayatan yang dalam di leher masing-masing.
Aku hanya diam berdiri dengan air mata yang seakan tidak mau berhenti.
Pihak kepolisian tiba sesaat setelahku, langsung melakukan Olah TKP. Aku, Indra, dan Ronny menunggu di pintu sambil aku Bersiap-siap untuk mengecek waktu kematian dan membuat surat keterangan. Aku sedang mengenakan sarung tangan, ketika tiga petugas polisi di dalam kamar itu membalikkan tubuh Agatha, dan dari tangan kanannya yang semula tidak terlihat karena tersembunyi di bawah kasur, ternyata Agatha menggenggam sebuah amplop cokelat yang juga bernoda darah, tapi jauh lebih tipis. Salah seorang polisi menduga, tampaknya korban pertama (Agatha) menyeret tubuhnya sekitar satu setengah meter untuk mencapai bagian bawah tempat tidur sebagai usaha terakhirnya sebelum kehabisan darah dan tenaga.
Polisi mengambil amplop dari genggaman kaku Agatha. Di atas amplop cokelat itu tertulis namaku dengan tulisan tangan Dewi:
'Lydia'
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.