Stasiun-128 dan Pablo

5 3 0
                                        

26-Maret-2471, 07.30

Marlina terbangun di tempat tidur dan mendapati Lydia sudah tidak berada di sebelahnya. Semalam mereka lewati dengan berbincang-bincang sampai jauh malam. Dia bangun dan mendengar Lydia di lantai dua.

"Selamat pagi, Tuan Putri," kata Lydia yang sedang menyeduh kopi di perapian. "Mau kopi tubruk?"
Marlina mengangguk dan menguap sambil duduk di kursi panjang.

"Kita perlu agak menjauh dari sini untuk berkomunikasi dengan Iji. Tidak mungkin komunikasi kita lakukan di tempat ini." kata Marlina.
"Iya, sambil kita mengunjungi Karim." Jawab Lydia sambil meletakkan secangkir kopi di hadapan Marlina.

Suasana rumah Lydia cukup terang ketika matahari sudah naik tinggi, sirkulasi udara pun sangat baik.

"Kau tinggal di rumah ini sudah berapa tahun, Lyd?"
"Kira-kira 35 tahun. Sebelumnya aku menempati Gua Jepang di utara, atau di rumah pohon dekat Stasiun-001. Tapi pada dasarnya aku berkeliling 001-128-171, supaya tidak bosan aku menjadikan beberapa areal lahan sebagai perkebunan untuk kebutuhan makananku. Sayuran, ubi, kentang, wortel, kopi, padi, cabe, bawang, jahe, lengkuas, dan lain-lain. Aku seperti seorang petani kuno yang terjebak di tengah reruntuhan dunia modern, fasilitas teknologi tinggi penuh otomatisasi terkubur di dalam tanah ratusan tahun tanpa bisa kusentuh, dan ironisnya aku diwarisi itu semua." Lydia menerawang ke arah jendela luar.

"Jadi kemampuan bertahan hidup adalah faktor penting." kata Marlina.
"Kemampuan bertahan hidup adalah faktor terpenting." Lydia mengangguk. "Semua manusia wajib memilikinya. Harusnya semua sekolah dulu menjadikan itu pelajaran wajib."

"Kau ingat ketika kita bertiga jadi mahasiswa baru dan ikut-ikutan kegiatan pecinta alam?" tanya Lydia.
"Iya, dan kita ketahuan merokok sama pembina, hukumannya kita harus menghabiskan sebungkus rokokmu dengan 'lepas tangan'! Kau ingat wajah Sofia waktu dia memaki-maki sepanjang menjalani hukuman.
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, masih segar di ingatan mereka betapa Sofia yang waktu itu adalah seorang yang dari luar terlihat sangat pendiam bisa mengeluarkan kata-kata makian secara terus menerus sambil monyong dan membuat burung cucak rowo merasa malu.

Lydia, Marlina dan Sofia sejak awal perkenalan mereka sudah merasa senasib, selain hanya tiga mahasiswi yang bergabung dengan kelompok pecinta alam, mereka juga sama-sama perokok dan sama-sama ketahuan. Dari kelompok pecinta alam itulah mereka mempelajari segala hal tentanng hidup di alam liar, bertahan hidup dalam medan laut, hutan, gunung, dan keadaan kebencanaan.

Hari itu, sampai beberapa hari kemudian Marlina dan Lydia memperhatikan langit atau memasang telinga, mereka secara berkala melakukan komunikasi dengan Iji untuk memperbarui berita dari seluruh dunia. Sambil berusaha bersembunyi dari pindaian pihak lain, mereka berkeliling ke beberapa tempat, mengunjungi makam Karim, ke perkebunan Lydia, mengunjungi tempat-tempat yang di abad 21 menjadi tujuan wisata orang banyak, atau berenang di sungai jernih di dekat situ.

Lydia mengasah kemampuan Marlina dalam teknik-teknik bertahan hidup. Bagaimana cara membuat api, kayu jenis apa yang bagus untuk membuat perapian. Bagaimana membuat tempat perlindungan dari hujan/angin. Bagaimana cara berkebun, tanaman-tanaman pangan apa yang bisa dibudidayakan. Bagaimana memanen air dari air hujan, air tanah, atau memastikan air dari sungai atau genangan layak minum atau tidak. Melihat arah navigasi berdasarkan letak astronomi berbagai benda langit. Bagaimana mengawetkan makanan, penyimpanan dalam larutan asam atau garam. Bagaimana berburu hewan berkaki empat berbagai ukuran atau hewan-hewan unggas. Bagaimana mengumpulkan lemak hewan dan membuat sabun. Pengetahuan flora dan fauna yang bisa dimakan. Kemampuan adaptasi, dan lebih dari semuanya adalah kemampuan untuk menemukan ketenangan dalam situasi-situasi yang sulit.

Mereka berdua adalah orang-orang yang mumpuni dalam hal kemampuan nalar dan pengetahuan. Ditambah pengalaman Lydia selama hidup ratusan tahun sangat membantu Marlina untuk belajar dengan baik. Bahkan di beberapa kesempatan Lydia mengajarkan bagaimana bertarung dan memanah.

Marlina sadar bahwa kemampuan luar biasa Lydia bukan akibat dari suatu teknologi, atau sihir, atau mitos fantasi, tapi kemampuan yang diperoleh dari pengalaman yang setiap hari diasah dalam rentang waktu yang sangat lama.

Practices make perfection. Dan Lydia berlatih setiap hari, hingga kemampuan-kemampuan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan secara fisik dan mental. "Ketenangan dan pengendalian diri, dua komponen krusial. Tidak ada hal yang bisa diselesaikan atau diubah jika kau panik atau terlalu khawatir." kata Lydia. "Lagian santai saja, kita akan mati suatu hari. Entah di hutan, gunung, jalan, atau di tempat tidur. Sebelum saatnya tiba, mari bersenang-senang, karena kita tidak bisa memilih tempat di mana kita akan mati."

"Joan of Arc akan iri padamu, Lyd." Kata Marlina sambil mengasah golok, ketika mereka berdua sedang mengambil air dan mencuci pakaian di pinggir sungai jernih yang dulu berwarna hitam akibat polusi jutaan manusia.
"Jangan lupa, Miyamoto Mushashi, Raja Arthur, Margaret Tatcher, Angela Merkel dan Michelle Obama! Hahaha." Kata Lydia sambil menceburkan badannya ke aliran sungai.

"Sudah lebih dari satu minggu, belum ada tanda-tanda kedatangan tamu tak diundang, Lyd. Sepertinya kita harus mulai menanggalkan rasa takut dan kecurigaan pada dunia."
"Yes, about time!" Kata Lydia sambil menunjuk pada reruntuhan Savoy Homann tidak jauh dari sungai tempat mereka berada.

Marlina mengangguk sambil mengangkat barang-barang bawaan dan berjalan ke arah rumah mereka. Lydia mengikuti di belakang.

"Entah seluruh dunia tidak punya kemampuan untuk kemari, atau mereka takut kita, Lin."
"Ya, hanya ada satu cara untuk mengetahuinya, Lyd."

Sudah waktunya kita melakukan pendekatan lain.

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang