Matahari Unggul

19 9 2
                                    

25-September-2010

Jujur saja ini aku memang belum pernah bertemu dengan pihak yang memberi beasiswaku secara khusus. Semua prosedur dilakukan oleh kampus dan SMA-ku. Hanya dua kali aku bertemu dengan lembaga pemberi beasiswaku, sekali ketika awal perkuliahan, dan yang kedua ketika kelulusanku, itupun hanya dilakukan oleh pihak penghubung.

Hari Rabu di minggu berikutnya aku mendapat panggilan telepon dari seorang laki-laki yang mengaku berasal dari panti wreda Matahari Unggul, dan mengatakan bahwa aku diterima untuk pekerjaan paruh waktu, dan diminta untuk datang kembali pada hari Sabtu siang untuk mengurus segala kelengkapan dokumen.

Aku memang tidak bisa menentang kehendak semesta, kan? :-)

"Hati-hati, ya, walaupun itu adalah pekerjaan paruh waktu, kau harus menjaga kesehatan. Kadang Ibu khawatir dengan kesibukanmu." Nasihat ibu ketika kuberitahu kabar gembira ini.
Kubalas dengan mencium pipinya berkali-kali.

Sabtu berikutnya, aku kembali menuju panti wreda Matahari Unggul, bertemu Bu Windarti dan diberitahukan bahwa aku akan bekerja hanya selama akhir pekan, enam jam di hari Sabtu dan empat jam di hari Minggu. Tapi yang mengejutkan adalah besaran remunerasi yang akan kuterima. Nyaris setara dengan remunerasiku empat puluh jam seminggu di rumah sakit. Empat banding satu. Dalam hati aku bersorak kegirangan. Tapi aku harus jaim-lah sedikitlah!
Dan aku memulai pekerjaan di hari itu juga.

Pekerjaan rutinku di Matahari Unggul sebenarnya standar, mulai dari pemeriksaan semua penghuni, memberi konsultasi, dan penyuluhan kesehatan, yang bersifat korektif maupun preventif. Matahari Unggul ini memang sebuah panti wreda dengan fasilitas dan layanan premium. Karena selain pemeriksaan kesehatan rutin oleh seorang dokter seminggu sekali, psikiater juga akan datang sebulan sekali untuk memberikan konseling atau penyuluhan umum.

Hari pertama ini, selain berkenalan dengan para lansia penghuni/residen, juga berkenalan dengan para perawat, juru masak, office boy/girl, sampai ke tukang kebun. Matahari Unggul berada di sebuah komplek perumahan yang terletak sedikit di luar kota Bandung, kurang lebih sepuluh kilometer sebelah barat kota. Luas total lahan Matahari Unggul kira-kira lima hektar, sedang bangunannya sendiri berukuran 3.000 meter persegi. Ketika kira-kira jam lima sore, tugasku hari ini sudah selesai. Karena tidak ada hal lain yang akan kulakukan setelahnya, aku memutuskan untuk tinggal lebih lama di panti wreda dengan tujuan untuk lebih mengenal dan mengetahui semua hal di fasilitas ini. Terutama aku ingin mencari tahu, siapa yang membiayai beasiswa pendidikanku. Mungkin aku akan mencium tangannya.

Aku menghabiskan waktu setelah jam kerja hari itu dengan berjalan-jalan mengelilingi panti wreda, melihat taman, kebun, kolam ikan dengan air mancur, dan taman bermain. Matahari Unggul dikelilingi pagar beton setinggi tiga meter, dan memiliki jalan setapak yang juga berfungsi sebagai lintasan joging yang terbuat dari paving blok selebar dua meter yang mengelilingi bangunan panti wreda dan juga saling memotong untuk memudahkan akses. Dengan ruang terbuka yang seluas ini, akan menyenangkan dan menyehatkan bagi residen. Aku duduk di sebuah taman dengan beberapa bangku beton kotak yang mengelilingi sebuah pot besar dengan pohon akasia setinggi tiga meter dan menyulut rokok dan mengisap dalam-dalam racun nikmat sambil menikmati sudut tenggara fasilitas ini dengan ditemani matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Langit mulai redup dengan cahaya kuning teduhnya. Aku menghidupkan telepon genggamku untuk melihat kalau-kalau ada pesan singkat atau panggilan tak terjawab. Dua pesan singkat. Satu iklan operator seluler, dan satu dari Ibu, 'Nanti makan malam di rumah?' Kujawab cepat, 'Sepertinya tidak, Bu. Mungkin agak telat pulangnya, aku masih di panti wreda mungkin sampai malam.' Lalu kumasukkan lagi telepon genggam ke dalam saku kiri celana.

"Sore, Bu Dokter." Sebuah suara menyapaku dari arah belakang. Dan aku menoleh.
"Pak Solihin?" tanyaku sambil tersenyum, setelah melihat yang menyapaku adalah Solihin, tukang kebun panti yang tadi siang juga diperkenalkan oleh Windarti. Solihin bersama anaknya, Yana, adalah dua orang yang tinggal dekat sini dan bertugas sebagai tukang kebun.
"Sedang menikmati senja sambil lihat-lihat, Pak. Kompleknya bagus dan cukup besar, ya."
"Pak Solihin dan Pak Yana sudah lama bekerja di sini?" Tanyaku.
"Baru dua bulan, Bu Dokter, awalnya hanya saya sendiri, tapi karena yayasan butuh satu orang tukang kebun lagi, anak saya ikut jadinya." Jawabnya sambil berdiri dan sedikit terbungkuk sebagai tanda hormat padaku.
"Rokok, Pak?" Kataku sambil menyodorkan bungkus rokok dan korek api.
"Punten, Bu, saya tidak merokok. Haturnuhun." Jawabnya, dan kukantongi kembali rokok dan korek api itu.
"Oke, Pak," aku tersenyum dan kembali menikmati warna kuning pohon akasia di senja hari ini.

"Matahari Unggul sudah berdiri kira-kira tiga bulan, ya, Pak?" tanyaku.
"Benar, Bu. Tapi proses pembangunannya sudah dimulai sepuluh tahun lalu" jawabnya.
Sepuluh tahun untuk pembangunan? tanyaku dalam hati.
"Pak Solihin berarti salah satu pegawai awal, ya."
"Iya, Bu."
"Pak Solihin santai sambil kerja saja ngobrolnya, ya." kataku takut mengganggunya. "Saya juga sedang santai kok."
"Apa ada hal menarik menurut Pak Solihin di komplek ini?" tanyaku basa-basi.
Pak Solihin terlihat diam beberapa detik, sebelum kembali bekerja, "Tidak ada, Bu, sepertinya biasa-biasa saja." Jawabnya.
"Tadi siang berkenalan singkat dengan para penghuni, total ada empat belas lansia ya dari awal berdirinya panti ini?"
"Enam belas, Bu." Jawabnya sambil mengurus tanaman buah lima meter dari tempatku duduk.
"Dua lainnya sudah keluar? Atau maaf, meninggal dunia?" Di tempat yang memang diperuntukkan untuk para lansia, hampir mirip dengan ruang gawat darurat, dekat sekali dengan kematian.
"Iya Bu, meninggal." Jawab Solihin.
"Sakit apa?"
"Tidak tahu, Bu. Suami istri. Mereka berdua ditemukan sudah meninggal di pagi hari sebulan yang lalu."

Setelah berbasa-basi, aku berpamitan dan meninggalkan Solihin dengan pekerjaannya. Lalu berjalan menuju bangunan panti.

Suami istri, meninggal dunia di malam yang sama. Mungkin di catatan administrasi aku akan menemukan informasinya. Pikirku sambil berjalan pelan masih menikmati suasana sore yang cukup bagus ini.

Aku memasuki pintu samping ruang makan yang merupakan salah satu pintu keluar selain pintu utama di depan. Pintu keluar ketiga ada di bagian belakang bangunan, terhubung dengan dapur. Ruang makan yang berukuran 20 x 15m saat itu dalam keadaan kosong, tiga orang yang sedang mengatur meja, kursi, peralatan makan dan etalase untuk makan malam. Ana, tangan kanan Marwoto si juru masak, Fadly dan Nur, dua OB/OG panti wreda ini.

"Boleh kubantu?" tanyaku kepada Nur, OG yang berperawakan agak gemuk.
"Boleh, Bu." Jawab Nur dan Fadly nyaris bersamaan. Nur berusia kira-kira 35 tahun, dengan rambut berombak sebahu yang di ikat dengan karet ke belakang kepalanya, dan Fadly berusia 25 tahun dengan perawakan tinggi kurus, rambut lurus rapi dengan minyak rambut, kulit sawo matang, dan wajah tirus.
Lalu aku ikut membantu mengatur tumpukan piring, sendok, garpu, pisau makan, gelas air, dan baki makan. Makan malam disajikan secara prasmanan, jadi masing-masing orang bisa mengambil sesuai kebutuhannya dan membawa ke meja makan.
Ruang makan memiliki empat meja besar berbentuk lingkaran diameter tiga meter dengan delapan kursi masing-masing meja.

"Ikut makan malam di sini saja, Bu Dokter," kata Ana dari arah dapur.
"Oke, Bu Ana. Terima kasih," jawabku sambil tersenyum. Karena aku tidak memiliki agenda lain lagi malam hari ini, aku memutuskan untuk sedikit berlama-lama di tempat ini, sambil mengenal lingkungan dan orang-orang yang ada di sini.

Setelah salat magrib, lalu terdengar pengumuman dari pengeras suara sebagai tanda makan malam telah tersedia. Para penghuni mulai berdatangan ke ruang makan.

Penghuni panti wreda yang tercatat ada empat belas orang, empat berusia di atas delapan puluh tahun dan sisanya antara tujuh puluh satu hingga delapan puluh.
Indra Pasaribu, mantan dokter dengan tongkat. Ronny Manusama, pensiunan kolonel polisi. Joseph Pangemanan, dan Lukman Aryawinata. Mereka yang berusia di atas delapan puluh tahun. Aku menaruh perhatian khusus pada empat senior ini, karena semakin bertambah usia, memang secara umum akan memiliki keluhan kesehatan lebih banyak. Lalu ada Didin, Samidjan, Ahmad, Atun, Hadi, Agatha dengan kursi roda, Rahma, Fitri, Dewi, dan Ni Luh.

Empat meja besar mulai terisi residen panti wreda.
Didin, Samidjan, Atun, dan Rahma di meja terdekat dengan etalase menu prasmanan.
Joseph, Ahmad, Fitri, Ni Luh, dan Hadi di meja sebelahnya.
Dewi, Lukman, Indra, Ronny, dan Agatha mengisi meja yang terdekat pintu keluar.

Aku bergabung dengan kelompok Dewi, dan kami makan malam sambil membicarakan hal-hal ringan, seperti makanan favorit, Agatha yang baru saja memotong rambutnya, cucu Ronny sedang hamil dan akan menjadi buyut pertamanya, Indra yang adalah cucu seorang pahlawan nasional dari tanah batak, Atun yang menggunakan wig, tentang presiden kulit hitam Amerika pertama Barrack Obama, tentang hujan meteor perseid sebulan yang lalu, cucu Dewi yang kaya dan belum mau menikah di usia tiga puluhnya, atau Agatha yang pernah tercebur kolam dengan kursi rodanya.

"Mungkin ikan-ikan menyukaiku!" kata Agatha dengan penuh semangat, "tapi di dekat kolam belakang itu aku menemukan pintu rahasia," sambil berbisik di dekat telingaku.

Suara percakapan di meja-meja makan yang didominasi oleh para senior ditemani oleh suara sayup-sayup duet Yon dan Yok Koeswoyo yang melantunkan lagu Bintang Ketjil, dan diikuti oleh lagu-lagu yang ngetop di era 1960-1970an.

"Besokaku ceritakan petualanganku bersama Indra di pintu rahasia di belakangya." Kata Agatha sambil mengedip dan tersenyum padaku.

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang