Mengerjar Matahari

9 3 0
                                        

6-April-2471, 17.00

"Trebor di Botswana?" Tanya Marlina setelah panggilan audio visual dengan Kaisar Monewa berakhir.
Aku menarik napas panjang, "kita ke sana."

"Kira-kira apa yang ada dalam kepala Trebor dan Monewa itu?" tanya Marlina. Aku mengangkat bahuku.

"Pablo, bisa kau tampilkan foto udara lokasi Kaisar Monewa tadi?" perintahku. Monitor Utama menampilkan sebuah foto udara dan lokasi Monewa ditandai dengan sebuah bulatan merah, tempat itu berada di sebelah utara sebuah objek besar yang terlihat seperti sebuah landas pacu bekas bandar udara dengan area reruntuhan permukiman dan perkotaan tertutup pepohonan hijau berada di sebelah selatannya.

"Sebelah utara dari tempat yang dulu bernama bandar udara internasional Sir Seretse Khama di kota Gaborone, Botswana." Marlina berkata sambil menunjuk ke Monitor Utama.

"Pablo, persiapkan perjalanan aku dan Marlina ke Gaborone, kami akan menggunakan armada udara 128A." kataku.
"Persiapan dimulai, akan membutuhkan waktu 43 menit hingga segala sesuatu siap." kata Pablo.

Kami lalu mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa ke Botswana. Aku mengajak Marlina untuk keluar dari Stasiun-128 sambil membawa barang-barang bawaan kami di dalam ransel. Lima belas menit kemudian, kami sudah berdiri di depan makam Karim sekali lagi.

Karim memang pernah mengatakan bahwa dia ingin jenazahnya dikuburkan secara normal, bukan dikremasi seperti Budi dan Sofia. Jadi aku menguburnya dengan tanganku sendiri. Kami berdua berdiam di dekat makam itu kira-kira dua puluh menit tanpa berkata-kata. Masing-masing dari kami memang punya hubungan profesional dengan Karim, tapi dia adalah sahabat kami. Mungkin saja kami berdua sedang memanjatkan doa untuknya, atau sedang bercakap-cakap dengan Karim di dalam kepala kami.

"Persiapan Pablo selesai." Kata Marlina memberitahuku. Tanah di depan kami bergetar hebat, dan lokasi Alun-Alun Bandung, tempat yang dulu dipadati orang-orang untuk bersantai atau melakukan swafoto terbelah tepat di tengah dengan mengangkatnya pintu hidrolik besar setebal empat meter, dan armada udara 128A perlahan mengangkat dari dalam perut bumi tanpa suara, dan tiba di hadapan kami dengan mengeluarkan sebuah tangga dari bagian bawah perut pesawat.

"Salah satu penemuan terbaik anakmu, Zaki." Kataku sambil menepuk pundak Marlina dan mengajaknya memasuki kabin 128A.

"Wow!" Kata Marlina ketika kami tiba di dalam kabin 128A dan dia melepas pandangan berkeliling dan mengagumi interior 128A.
"Ya, armada ini sangat canggih, kupikir aku tidak akan pernah menaikinya lagi." kataku.
"Kau pernah menaikinya?" tanya Marlina.
"Beberapa kali, bersama Robert." jawabku. Marlina terdiam.

"Pablo, tutup semua pintu akses ke Stasiun-128, aktifkan pelindung plasma dan masuki moda pertahanan diri." Kataku. Moda pertahanan diri adalah sebuah keadaan sebuah Stasiun UniCare untuk mengisolir jalan masuk, menghalau objek dari luar untuk mendekat atau masuk, bahkan menggunakan senjata untuk mempertahankan keselamatan sistem.
"Pintu akses tertutup, pelindung plasma aktif, dan artileri dalam keadaan siap siaga." kata Pablo.

"Oh ya jangan lupa kau bekerja sama dengan Iji untuk membersihkan rute dari Stasiun-128 ke Stasiun-171." sambung Marlina.
"Baik."

"Let's go, Pablo!" kataku.

Aku memang belum memasang implan ke dalam kepalaku, karena aku tahu dibutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga hari untuk pemulihan pasca pemasangan implan di batang otak dan kami tidak memiliki waktu semewah itu untuk dihambur-hamburkan, kami membutuhkan seluruh kemampuan untuk waktu dekat ini.

"Silakan duduk dan gunakan sabuk pengaman," dan kami memasang sabuk pengaman.
"Perjalanan akan memakan waktu empat jam dengan ketinggian jelajah 50.000 kaki dan jarak tempuh 14.173km. Tujuan, -24.535936, 25.934154"

"Bismillah!" kataku. Dan badan kami mulai merasakan sensasi pergerakan 128A mengangkat, akselerasi, dan mencapai kecepatan jelajah konstan lima belas menit kemudian.

Aku dan Marlina duduk di kursi paling depan, dengan pemandangan sore hari yang luar biasa terlihat dari atas sini. Kami melepaskan sabuk pengaman dan lalu berdiri di pinggir sebuah jendela kaca besar yang memungkinkan kami untuk melihat dunia luas ini.

Kami meninggalkan daratan pulau Jawa setengah jam kemudian, dengan matahari sore dan hamparan lautan terlihat di depan kami. Perjalanan ini seperti sedang mengejar matahari, dan aku teringat sebuah puisi Sapardi Djoko Dhamono lima abad lalu, dan kuubah:

Waktu aku berjalan ke barat, di waktu sore
Matahari mendahuluiku di depan
Aku berjalan meninggalkan bayang-bayangku sendiri yang memanjang di belakang

Aku dan Matahari tidak bertengkar, tentang siapa diantara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan Bayang-bayang tidak bertengkar, tentang siapa diantara kami yang harus berjalan di depan

"Lyd, menurutmu hal apa yang membuat Trebor ingin menemuimu di Botswana?" tanya Marlina.
"Dugaanku tentang UniCare." Jawabku singkat.

Marlina melihat senyum tipis di wajahku, dan dia berdiri sambil bertolak pinggang, "kau kelihatan senang sekali mau ketemu Trebor."
Aku mengangkat bahu.

"Sebentar, sebentar, ada apa antara kau dan Trebor?" Tanya Marlina dengan pandangan menyelidik. Mendadak aku merasa suhu udara berpendingin di dalam kabin lebih panas. Pakaianku terasa lebih gerah dari biasanya.
"Robert itu temanku, temanmu juga, dia bos kita. Eee, mantan bos tepatnya." kataku.
"Oke," kata Marlina sambil mengangguk tapi pandangannya tidak lepas dari mataku, seolah-olah dia sedang mencari informasi yang terbaca samar di situ. "Lalu?"

"Lalu apa?" tanyaku.
"Lydia, i am not stupid. Kalian punya hubungan romantis?"
Aku tersenyum lebar melihat wajah tembemnya dengan jidat berkerut yang saat ini seperti menjadi polisi pamong praja yang sedang melakukan interogasi kepada seorang pelaku tindakan asusila. "Hahahaha!" Aku tak sanggup menahan tawa.

"Aku serius, Lyd!" Kata Marlina masih berkacak pinggang dan sekarang matanya melotot seperti mata kodok yang sedang melihat serangga dan inginS mencaplok.
"Tidak," jawabku setelah berhasil meredam rasa geli dan lucu melihat tampangnya. "Tidak ada romantisme, Marlina." Kataku, kali ini dengan wajah serius.

"Tidak pernah... Kami lebih dari romantis, kami berteman." Kataku sambil kembali tersenyum lebar. "Lagian siapa yang peduli pada romantisme ketika kau dikepung miliaran orang yang saling bunuh?"

"Beberapa orang peduli, kok." Kata Marlina dengan mata yang tidak terlalu melotot sekarang, tapi masih berkacak pinggang. "Kau dan Trebor?"

"Kenapa?" tanyaku.
"Kau tau dia itu flamboyan, pacarnya di mana-mana. Dia kemungkinan besar adalah pembunuh kakek neneknya. Kau tidak..." Lalu Marlina kehilangan kata-kata dan menghadap ke arah matahari, tapi masih berkacak pinggang.

"Hahahaha!" Tawaku pecah sekali lagi, dan aku menarik tangan Marlina, meletakkan telapak tanganku di kedua pipinya, menatap matanya, dan berkata dengan tenang:

"Aku dan Robert memiliki seorang anak laki-laki." kataku.

2471Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang