Hasil Dari Luka Kemarin

838 40 5
                                    

Bukan tentang megah nya bangunan rumah, tapi tentang hangat suasana di dalamnya. Ketika rumah tak lagi menjadi tempat yang di rindu, lantas dimana pulang yang harus di tuju?

Sering kali, sebuah pembicaraan kecil memicu perdebatan, begitupun terjadi saat pembicaraan serius di adakan. Bukan lagi sebuah solusi tapi hanya sebatas emosi yang tak kunjung berhenti.

Bukannya komunikasi kunci segalanya? Lalu mengapa sekedar berbicara saja bisa menjadi dalang masalah nya.

Kali ini Lian kembali memulai pembicaraan setelah perdebatan tempo hari yang membuat mereka tak saling tegur sapa selama dua hari satu malam.
Mungkin sedikit aneh jika ada yang bertanya apa alasan pertikaian dirinya dan Mawar. Lian meminta agar Mawar lebih fokus pada pengobatan nya, alih-alih memikirkan untuk program hamil. Ternyata obrolan itu tak menghasilkan suatu keputusan bijak dan berujung dengan saling mendiamkan.

"Aku mau bicara, please kali ini jangan debat lagi." Ujar Lian bergabung dengan Mawar di sofa kecil ruang tamu mereka.

Mawar menghela nafasnya kasar, "kamu ngomong gitu seolah aku yang ngajak debat." Mawar kembali menampakkan wajah tak suka nya.

"Bukan gitu, tapi setiap ngobrol pasti kita  bertengkar. Aku capek aja."

"Terus kamu kira aku suka?" Lian menahan dirinya, jika terus dilanjutkan maka tak akan ada ujung nya.

"Hari ini aku mau ke nikahan Salsa."

"Kenapa aku gak tau kamu di undang mereka? Kamu sengaja gak kasih tau aku, biar aku gak ada persiapan buat datang?"

"Aku di undang Ara, acaranya juga privat. Gak semua orang mereka undang?"

"Kamu itu suami aku, Li. Kalau orang ngundang kamu otomatis aku juga harus tau dan ikut."

"Gak bisa dong kamu bawa-bawa nama anak kamu gitu." Lanjut Mawar.

"Kamu kenapa kesan nya jadi menyudutkan aku gini si Ma? Aku kan udah bilang ini acara privat dan aku hadir karena anak aku yang ngundang."

"Terserah kamu aja, Li. Aku capek. Datang aja, kumpul lagi sama anak dan mantan istri kamu itu!"

"Aku gak hadirin acara pertemuan keluarga, ini acara pernikahan!"

"Padahal enggak ada alasan buat kamu marah-marah kayak gini. Seolah-olah aku datang karena aku yang mau nikah." Kesal Lian lagi.

"Kamu enggak paham jadi aku, kamu cuma mikirin diri sendiri."

" Aku engga paham di bagian mananya sih Ma? Aku cuma mau menghadiri undangan aja. Aku juga mau ketemu anak aku, kenapa itu jadi kesalahan?"

"Ya, karena di sana ada mantan istri kamu!"

Lian menghela nafasnya kasar, ia tak mengerti lagi harus menjelaskan bagaimana.

"Terserah kamu, Aku cuma bilang. Aku gak minta izin sama kamu. Jadi aku tetap berangkat walaupun gak kamu izinin."

"Loh kok gitu? Ya udah sekarang kita enggak usah lagi izin mau kemana-mana."

Lian tak menjawab, ia beranjak dari sofa.  Pintu kamar ia tutup hingga suara keras terdengar. Mungkin entah sudah berapa kali pintu menjadi korban pertengkaran mereka.

Untung saja Zidan sedang sekolah, jika tidak anak itu mungkin sudah menangis melihat kelakuan kedua orang tuanya.

***

Di lain tempat, sebuah prosesi akad nikah sedang berlangsung. Gaun putih dan dekorasi yang hampir sama namun dengan orang yang berbeda. Jika dulu pernikahan dilangsungkan dengan harapan bahagia, kali ini semoga tidak gagal saja.

Tidak ada yang mau menjadi pengantin untuk kedua kalinya, apalagi sebelumnya sempat luka dan trauma akan pernikahan itu sendiri.
Tapi hari ini, semuanya berhasil Salsa tinggalkan. Hanya beberapa sisa dari masa lalunya yang ia bawa.

Setelah ijab kabul berhasil Al ucapan dengan jelas dan lantang, rasa haru dan bahagia menyelimuti diri Salsa.

Ia berjalan dengan dua putrinya di kanan dan kiri nya. Tak ia sangka laki-laki di hadapan nya kini telah menitikkan air mata, setelah berhasil menatap pria itu dengan dekat. Sebuah kecupan di dahi Salsa ia berikan.

"Terima kasih karena telah terlahir menjadi pasangan hidup aku." Ucap Al sela kecupan nya.

Ucapan itu menjadi kalimat paling indah bagi Salsa, Al selalu menutup mata akan kurang yang Salsa miliki.

"Ibu dan Papin, Selamat ya." Gracia memeluk keduanya erat. Lalu diikuti oleh Ara.

"Sejak kapan kalian siapin panggilan Papin?" Tanya Salsa.

"Kakak udah diskusi sama Ara selama satu minggu, kata Ara Papin lebih cocok."  Jawab Gracia menceritakan awal muka kata Papin.

"Papin itu Apa?" Tanya Al dengan wajah yang heran.

"Papa Vino." Jawab Ara dan Gracia bersamaan.

Al tersenyum, ia mengusap rambut keduanya. " Terima kasih telah menerima Papin dengan baik. Kita ciptakan kebahagiaan baru setelah ini ya?" Keduanya tersenyum dan mengangguk-angguk Kepala nya.

Salsa dan Al pindah untuk duduk di kursi untuk kedua pengantin. Salsa mencari kehadiran Mama dan Papa nya. Meskipun mantan mertua Salsa akan sedih jika keduanya tak hadir.

Namun, senyuman nya kembali terlihat saat keduanya datang mendekat. Salsa dapat melihat dua pasang mata itu sembab. Ia pastikan tangisan menjadi penyebabnya.

"Siapa yang izinin mama sama papa nangis di sini." Protes Salsa dengan wajah tak sukanya.

Ati tersenyum, " Mama terharu juga lega. Setidaknya rasa bersalah Mama bisa terobati dengan melihat Caca kembali bahagia."

"Papa titip Caca ya Al, mungkin kami bukan orang tua kandung Caca tapi kebahagiaan dia juga harus kami pastikan."

Ati memeluk Salsa erat, air mata Ati mengalir deras. Entah perasaan bagaimana yang ia rasakan.

"Mama kalau nangis terus Salsa marah ya. Salsa tetap anak Mama sama papa mau bagaimana pun itu."

"Meskipun Salsa sekarang istri Al, kalian akan tetap jadi orang tua Salsa. Al tidak akan pernah melarang Salsa berhubungan dengan orang-orang di masa lalu nya, walaupun orang itu adalah Lian Al juga tidak akan melarang selama itu mengenai Anak-anak."

Salsa terus menatap pria itu, kalimat yang ia lontarkan dengan ketulusannya. Manusia seperti apa yang ada di samping nya ini. Selalu saja menjadi yang paling mengerti dan memahami.

_________________

Hai met malam nak!!

Thk u ya!




Jatuh padamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang