13. Mawar Putih

6.4K 989 37
                                    

Sayang sekali bagi Adrian, ketika jam istirahat dari kelas berpedangnya sudah habis, dia harus segera kembali ke arena latihan sebelum gurunya murka. Namun saat kami hendak berpisah, Adrian kelihatan enggan untuk membiarkan aku berduaan saja dengan Carlisle. Berkali-kali, Adrian cemberut sambil menatapku dengan sorot sedih. Aku seolah bisa melihat ekor anjing berkibas sedih di bagian belakang tubuhnya.

"Arthe, baik-baik bersama Yang Mulia, ya." Adrian memelukku erat sembari mengelus rambutku.

"Iya, iya, Kakak. Kamu tidak perlu khawatir, pergilah untuk kembali berlatih," balasku dengan suara teredam karena tenggelam dalam pelukan Adrian. Padahal kami satu rumah, tapi kami seolah hendak berpamitan untuk merantau.

"Sudah kuduga, aku tidak tega meninggalkanmu sendirian dengan orang asing, Arthe! Aku punya ide yang bagus! Bagaimana jika kamu melihatku berlatih saja? Akan aku tunjukkan bakat terpendam kakakmu ini."

Samar-samar, aku mendengar suara Carlisle, "Dasar posesif. Lagipula aku tidak akan menggigit adikmu itu."

Makanya saat ini, Adrian telah membulatkan tekadnya untuk membawaku melihat kelas berpedangnya karena khawatir meninggalkan aku berduaan saja dengan Carlisle. Jadi, aku duduk di sisi arena latihan yang telah menyediakan kursi dan meja secara dadakan, kemudian ada set payung juga yang membuat kami terhindar dari sinar matahari secara langsung.

Aku pun melihat Adrian berlatih pedang dengan gurunya. Walau dia khawatir meninggalkan aku dengan Carlisle, faktanya dia bahkan terlalu fokus pada latihannya daripada harus memperhatikan aku yang berduaan dengan Carlisle.

Meski dikatakan bahwa keturunan Crissalo pandai dalam sihir penyembuhan, itu tak membuat mereka tidak memiliki alasan untuk memperkuat diri dengan bela diri, terutama seni berpedang. Saat aku melihat betapa kerasnya Adrian berlatih, aku sampai was-was sendiri. Bagaimana jika saat aku sudah tumbuh agak besar, aku juga akan dipaksa untuk berlatih bela diri yang tidak aku gemari itu? Berkeringat sampai bernapas pun sulit saking capeknya? Memikirkannya hanya membuatku merasa makin ngeri.

Lagipula, satu-satunya olahraga yang aku gemari adalah e-sport. Itu tidak akan memakan banyak tenaga dan stamina secara fisik yang melelahkan, melainkan permainan pikiran dan strategi. Sayang sekali tidak ada e-sport di dunia fantasi ini. Maka dari itu, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan hidup jika harus mengikuti latihan bagaikan neraka itu di masa depan. Apakah aku harus merayu Lucille supaya aku tidak perlu berlatih pedang, ya?

"Apa tidak bosan hanya melihat Adrian berlatih saja?"

Aku menolehkan kepalaku ke samping. Tempat Carlisle duduk di sebrang meja kecil. Di atas meja, ada sajian teh dan kukis mini.

"Tidak, Kak Adria  kelihatan keren," sanggahku.

Carlisle mengerutkan dahi. "Aku sudah terbiasa berlatih seperti itu. Jadi menurutku, hanya memperhatikan Adrian tanpa melakukan apa-apa itu sangat membosankan."

"Memangnya Yang Mulia tidak memiliki pekerjaan yang harus dilakukan di istana, ya?" tanyaku. "Kukira, Yang Mulia pasti akan memiliki banyak kelas seperti yang kakakku lakukan setiap harinya."

"'Yang Mulia'?" Suara Carlisle kedengaran sedih, dia bahkan agak cemberut seolah seorang bayi telah menepis tangan yang diulurkan padanya. "Mengapa memanggilku dengan kaku seperti itu, Arthevian? Panggil aku Kakak saja seperti sebelumnya."

"Tapi Kak Adrian mengatakan jika aku bertindak tidak sopan kalau memanggil keluarga kerajaan dengan sebutan seperti itu," balasku.

Carlisle mengibaskan tangan. "Tidak, tidak. Adrian hanya berdelusi. Lagipula, jika akulah yang memintamu secara pribadi, maka itu tidak akan dianggap sebagai hal yang tidak sopan. Panggil aku Kakak saja. Dan aku juga akan memanggilmu Arthe sebagai gantinya. Bagaimana?"

Anak Buangan DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang